Blog Archive
-
►
2017
(45)
- ► 9 Juli - 16 Juli (23)
- ► 2 Juli - 9 Juli (15)
- ► 25 Juni - 2 Juli (7)
-
►
2016
(11)
- ► 29 Mei - 5 Juni (3)
-
▼
2015
(209)
- ► 26 Juli - 2 Agustus (1)
- ► 12 Juli - 19 Juli (27)
- ► 5 Juli - 12 Juli (10)
- ► 7 Juni - 14 Juni (1)
- ► 24 Mei - 31 Mei (11)
- ► 17 Mei - 24 Mei (20)
- ► 10 Mei - 17 Mei (14)
- ► 3 Mei - 10 Mei (5)
- ► 19 April - 26 April (37)
- ► 12 April - 19 April (34)
Cari Blog Ini
Label
Mengenai Saya
Prestasi
sumber : http://inspiratifhabiby87.blogspot.co.id/
Pendidikan, Pengumuman
Pembahasan mengenai draf putusan Ditjen Pendidikan Islam (Pendis) Kemenag RI tentang pedoman penyelenggaraan Ma’had Aly dilaksanakan di Cirebon. Dalam pertemuan tersebut dihadiri perwakilan Ma’had Aly se-Indonesia dan petinggi Rabithah Ma’ahidil Islamiyah (RMI). Setelah secara resmi ditandatangani Menteri Agama, penerapan PMA tersebut akan dimulai pada tahun akademik 2016-2017.
Hal itu disambut manis civitas akademika Ma’had Aly Hasyim Asy’ari Tebuireng Jombang. Sebagai Ma’had Aly yang secara masif berjuang bersama beberapa Ma’had Aly lain yang bertahan, sangat mengapresiasi dan merespon positif keputusan tersebut. Karena selama proses perjuangan tersebut, banyak Ma’had Aly yang tumbang atau berubah menjadi sekolah tinggi untuk mendapatkan legalitas nasional. Hanya beberapa saja yang bertahan, diantaranya Ma’had Aly Tebuireng, Ma’had Aly Tremas, Ma’had Aly Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo, Ma’had Aly Nurul Jadid Paiton, dan Ma’had Aly Darus Sunnah Jakarta.
Mudir Ma’had Aly Hasyim Asy’ari Tebuireng, KH. Nur Hannan, Lc., M.Hi., mengungkapkan rasa syukurnya kepada Allah SWT. atas ditandatanganinya PMA tersebut. Beliau yang juga hadir dalam pertemuan tersebut, menjelaskan bahwa PMA itu akan dijalankan pada tahun ajaran depan, 2016/2017.
Mahasantri Ma’had Aly Hasyim Asy’ari tak perlu lagi merangkap belajar di Universitas Hasyim Asy’ari (Unhasy) agar mendapatkan ijasah S1 formal. Cukup mengikuti perkuliahan di Ma’had Aly akan sudah otomatis legal dengan sistem mu’adalah atau penyetaraan. Beliau berharap PMA ini segera ditindaklanjuti dengan sejumlah kebijakan dan program nyata untuk penguatan kelembagaan pondok pesantren di Indonesia.
Luapan kegembiraan juga diluapkan oleh para mahasantri. Salah satunya, Rahmad Aziz. mahasantri semester V tersebut mengaku sangat senang dan bangga. “Meskipun namanya bukan perguruan tinggi, dengan nama pesantren tingkat tinggi ini sudah menjadi kebanggaan bagi kita. Segala puji hanya Milik Allah SWT. Alhamdulillah akhirnya Ma’had `Aly sudah mu’adalah,” ungkapnya.
Bahkan kabar baik tersebut ditanggapi positif oleh para alumni di grup WhatsApp informasi Idaroh Ma’had Aly. “Alhamdulillah semoga MA se-Indonesia menjadi lebih baik,” ungkap Ainur Ridlo, salah satu alumni. “Kuliah satu aja jangan dobel-dobel, hehehe,” celetuk Ustadz Arif Chuzaini, alumni yang lain.
Bahkan banyak diantaranya berharap agar tidak ada lagi dikotomi pendidikan, penganaktirian terhadap Ma’had Aly, dan pesan kepada mahasantri agar tidak minder lagi. “Alhamdulillah, ada pencerahan. Semoga tidak ada dikotomi pendidikan. Semua sama, sehingga tidak ada perbedaan dan merasa tidak PD,” kata Ustadz Misbah alumni yang berkhidmat di Tebuireng 3 Riau.
Pengasuh, Terkini
Haul ke - 6 Wafatnya K.H. Abdurrahman Wahid di Pesantren Tebuireng Jombang
Dalam rangka memperingati wafatnya K. H. Abdurrahman Wahid atau yang maklum kita panggil Gus Dur. Pesantren Tebuireng Jombang akan mengadakan serangkaian acara yang akan di laksanakan pada tanggal 26 Desember 2015 akhir bulan ini.
Pesantren Tebuireng mempunyai banyak agenda besar dalam bulan ini, sebelumnya pada tanggal 24 Desember 2015 akan diadakan Tes Seleksi Santri Baru Gelombang I di semua unit pendidikan yang berada di lingkungan yayasan hasyim asy'ari tebuireng, setelah itu jelang 2 hari, diadakan Haul Gus Dur yang ke - 6. ini merupakan perjuangan yang harus dilakukan demi memberikan pelayanan yang maksimal kepada masyarakat.
Dalam acara haul Gus Dur yang ke - 6 ini, akan ada beberapa rangkaian acara, diantaranya :
1. Khatmil Qur'an Se-Jombang yang akan di mulai pada pukul 05.00 WIB pada tanggal 26 Desember 2015.
2. Tahlil dan Pengajian Akbar yang dimulai pada pukul 19.00 WIB hari sabtu malam tanggal 26 Desember 2015, yang insyaallah akan dihadiri oleh :
a. Drs. H. M. Jusuf Kalla selaku Wakil Presiden Republik Indonesia
b. K.H. Maiun Zubir atau yang lazim dikenal dengan sebutan Mbah Mun dari rembang
c. dan K.H. Jamaluddin Ahmad dari Tambakberas.
Bagi semua santri, alumni, masyarakat, dan Warga yang ingin menghadiri haul Gus Dur ini, silahkan datang di Pesantren Tebuireng Jombang.
Untuk informasi lebih lanjut, silahkan menghubungi Ustadz Iskandar, selaku Wakil Kepala Pondok Putra Pesantren Tebuireng di Nomor Handphone : 085 648 316 441.
Wawancara
Humor
Selain nyantri, Cak jahlun juga nyambi jualan krupuk di pesantren putri. “Itung-itung nambah penghasilan”, pikirnya.
Suatu hari ia putus asa karena hingga sore hari dagangannya tidak laku. Untuk menarik perhatian para santriwati dan para ustadzah, Cak Jahlun mulai bertingkah.
“Tolong… Tolong…,” teriak Cak Jahlun. Ning Minah yang kebetulan lewat lansung menghentikan langkahnya. “Ada apa Cak..?” Ning Minah berusaha menghampiri Cak Jahlun.
“Ini ada krupuk rambak, krupuk uyel, krupuk upil: renyah dan gurih, tolong dibeli,” tawar Cak Jahlun. “Ooooo… Dasar upilmu renyah kayak krupuk,” maki Ning Minah.
sumber : tebuireng.org
Pengasuh
Pengasuh
Khutbah
مَثَلُ الَّذِينَ اتَّخَذُوا مِنْ دُونِ اللَّهِ أَوْلِيَاءَ كَمَثَلِ الْعَنْكَبُوتِ اتَّخَذَتْ بَيْتًا وَإِنَّ أَوْهَنَ الْبُيُوتِ لَبَيْتُ الْعَنْكَبُوتِ لَوْ كَانُوا يَعْلَمُونَ (41) Al- A’nkabut
Al-Qur’an hadir tidak sekedar memberi petunjuk bagi umat manusia meraih kebahagiaan ganda isi para sastrawan yang gemar mengomentari hal-hal besar dan lupa mengangkat makhluk tuhan yang sepele, yang kecil. Akan tetapi Al-Qur’an hadir dari makhluk yang paling besar, hewan yang terbesar sampai hewan yang terkecil diungkap dalam berbagai perspektif. Ada al-fil, gajah dalam konteks pasukan perang yang sebegitu dahsyat waktu itu dengan kekuatan militer penuh, artileri yang tak terbayangkan hebatnya. Tuhan tidak perlu menghadapi kekuatan itu dengan kekuatan yang besar untuk memproteksi rumah-Nya sendiri, baitulLah. Tuhan cukup menunjuk burung kecil, bul-bul (ababil), yang dipersenjatai secara misterius dan supercanggih. Binasalah tentara gajah itu, ka’ashfim- ma’kul , seperti rerumputan kering yang dikunyah-kunyah oleh hewan ternak. Apa maksudnya ? Sesungguhnya tidak ada kekuatan yang berarti di hadapan Tuhan. Apalagi manusia yang jauh lebih ringkih dibanding tulang-belulang dan kulit gajah, tidak ada apa-apanya.
Kemudian ditunjuk al-ibil , unta dalam konteks akademik dan perspektif keilmuan dengan bahasa penelitian, afala yandzhuruna ila al-ibili kaifa khuliqat. Dunia biologi mengakui bahwa keunikan yang amat mengagungkan pada tubuh unta. Itu artinya sains atau ilmu normal, ditantangkan di sini untuk mengimbangi ilmu Tuhan, untuk menggali ilmu-ilmu Tuhan. Senada dengan al-ibil, adalah al-baqar. Dalam konteks ini, baqarah itu pada dunia mistik yang tak terbayangkan oleh akal. Sehingga peristiwa diangkat pada zaman Nabi Musa, bagaimana untuk melacak pembunuh misterius. Tuhan memirintahkan agar yang bersangkutan menyembelih seekor sapi. Dan dari sapi yang disebut shafra’u faqi’ul-launuha itu pembunuh berhasil ditangkap dengan cepat, meskipun tanpa bantuan intelejen maupun Densus 88. Itu artinya bahwa ada dimensi spiritual, dimensi yang lain, yang memang milik Tuhan. Dan yang kita tahu hanya sebagian saja.
Lalu, hewan-hewan yang tekecil yang akan kami angkat adalah al-‘ankabut, laba-laba. Binatang ini tidak bisa dipandang remeh, meskipun rendah menurut pandangan manusia, tapi sangat berjasa dalam agama. Pada bulan-bulan sekarang, adalah bulan-bulan monumental yang sesungguhnya Hadhratur-Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam melaksanakan hijrah, yakni pada awal-awal Bulan Rabi’ul Awwal, meskipun programnya pada bulan Muharram. Dengan rute yang aneh, masuk dulu ke Gua Tsur. Dan kehebatan pelacak, mampu menemukan jejak kaki Hadhratur-Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam sampai ke mulut gua. Tuhan memang kuasa, tapi Tuhan harus menunjukkan tanda-tanda kekuasaan-Nya dengan tanda-tanda yang dibuatnya sendiri. Bisa dibayangkan, tiba-tiba al-‘ankabut langsung mendesain rumahnya persis menutup mulut gua secara bagus, artistik dan rapi dalam waktu yang singkat. Sehingga para pemburu Nabi yang berhadiah 100 ekor unta itu dihadapkan dalam problem dilematik. Satu sisi perasaannya, hati nuraninya mengatakan bahwa pastilah Muhammad itu masuk ke Gua ini. Karena hasil pelacakannya seperti itu. Tetapi akal menunjukkan fenomena lain, laba-laba yang merupakan makhluk kecil dan tak diperhitungkan siapapun, malah sebagai sebab selamatnya nyawa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan sahabatnya. Di sinilah ada pertarungan antara logika akal yang mengatakan andai Muhammad itu masuk sini, pasti rusak sarang laba-laba tersebut. Ternyata dalam akal itu terdapat kekurangan, dan tak seluruhnya sempurna. Para pemburu Rasulullah melupakan kecepatan laba-laba itu membuat jaring-jaring yang menutupi mulut gua. Sehingga dikiranya sudah lama. Maka diputuskanlah berdasarkan akal, mereka mundur, menghentikan pengejaran. Dan kesimpulan mundur itu salah. Andaikan menggunakan rasanya, maka akan menemukan yang diburu.
Untuk itu se-‘alim apapun, tidak bisa rumusan akal itu menjadi suatu pedoman. Masih ada Tuhan Yang Maha Segalanya di luar itu semua. Terus apa yang bisa kita petik ? Sesungguhnya antara hewan dengan kita manusia, itu sama. Daging, hewan juga punya. Apalagi daging hewan itu lebih enak dan laku dijual. Sedangkan daging kita tidak laku. Ada tulang, kulit, hewan juga makan, kawin, mati, dan lain lain. Sama sesungguhnya. Tetapi Tuhan menunjukkan, ada hewan-hewan remeh tapi mempunyai jasa yang besar di dalam kehidupan ini, dalam agama ini, seperti laba-laba. Persoalannya adalah, apakah kita ini malu ? Apa yang harus kita lakukan sehingga sebagai hamba Allah yang diberi kelebihan akal sehat, pikiran yang hebat, semestinya prestasi ketaqwaannya jauh. Prestasi pengabdiannya terhadap agama jauh dan melebihi dari semu hewan-hewan yang ada.
Untuk itu, seorang sufi membahasakan bahwa seluruh bunyi-bunyian hewan itu adalah tasbih yang kita tidak mengerti bahasa mereka. Seluruh ucapan, kicauan hewan-hewan itu adalah sindiran terhadap kita yang lalai. Hanya saja kita tidak paham sindiran tersebut, walakin la tafqahuna tasbihahum. Hanya Nabiyullah Sulaiman saja yang diberi pemahaman bisa menangkap sindiran-sindiran hewan, termasuk ketika beliau dengan tentaranya mau lewat dan mendengarkan komandan semut untuk mengintrusksikan bawahannya agar masuk lubang supaya tidak terinjak-injak pasukan Nabi Sulaiman sementara mereka tidak merasa. Sindiran yang hebat. Tersinggungkah kita ? Semut itu benar. Bahwa biasanya orang besar menyakiti, menginjak-injak orang kecil itu tidak merasa sadar. Masih bagus kalau merasa sadar. Tapi disindir oleh semut, la tasy’urun.
Kemudian Al-Qur’an telah menunjukkan bahwa awhanul-buyut, rumah yang paling lemah di dunia adalah rumah laba-laba. Studi di Cornell Univesity menunjukkan bahwa benang yang dihasilkan oleh laba-laba itu kelenturannya bisa 5 kali lipat. Dari 1 cm benang yang ada bisa diulur, ditarik menjadi 5 kali panjangnya dengan tanpa putus dan tetap kuat. Ditunjuk lagi bahwa senar benang laba-laba itu 5 kali kekuatan serat baja dalam ukuran yang sama. Ditunjuk lagi bahwa andaikan bisa dikumpulkan, maka menjadi bahan anti peluru yang terhebat di dunia terbuat dari senar laba-laba. Di mesir, seminar dibuka dalam perspektif kebahasaan dan menunjukkan hasil yang mengecewakan waktu itu. Bahwa hubungan antara fi’il dan fa’il isim dzhahir seperti yang tertera pada ayat ini sebagai hubungan yang janggal dan tidak selaras dengan kaidah nahwu. Kamatsali al-‘ankabut ittakhadzat baita. Siapapun tahu bahwa al-‘ankabut merupakan bentuk mudzakkar, sedangkan ittakhadzat yang menyimpan dhamir (kata ganti) mu’annats itu kembali ke dhamir dalam lafadz al-‘ankabut yang mudzakkar. Seharusnya ittakhadza baita. Ahli bahasa tidak bisa memberesi persoalan ini. Justru yang menyelesaikan masalah ini adalah sarjana biologi yang melakukan penelitian tentang kehidupan laba-laba. Dia bediri dan memberikan informasi bahwa menurut hasil penelitiannya, seluruh laba-laba yang membuat sarang/rumah dengan desain yang teratur dan simetris seperti itu adalah berjenis kelamin betina. Karena benang laba-laba itu diproduksi dari rahimnya, dan hanya jenis kelamin betinalah yang mempunyai rahim. Maka benarlah Al-Qur’an, memasang bentuk mu’annats.
Untuk itu, kita dihadapkan pada persoalan akademik lagi. Sekuat itu benang laba-laba, tapi mengapa Al-Qur’an menunjuk dengan bahasa awhanul-buyut (yang paling lemah)? Jawabannya adalah kelemahan atau al-awhan, itu merupakan tesis metaforik. Atau juga disebut bahasa sindiran, bahasa tamtsil. Orang yang mengambil Tuhan, bertuhan selain Allah itu seluruh logikanya lemah seperti lemahnya sarang laba-laba. Terkena hujan, rusak. Terkena sentuhan, rusak, dan lain-lain. Siapapun orangnya yang bertuhan selain Allah itu pasti logikanya tidak masuk akal.
Terkait dengan Natal, sangat mudah sekali menggugurkan, menggagalkan, dan menyalahkan konsep teologi Nasrani atau Katolik tersebut. Jika Yesus atau Nabi Isa itu lahir pada masa itu, lalu diangkat menjadi Tuhan, persoalannya adalah umat-umat yang sudah hidup di dunia ini ratusan sampai ribuan tahun lalu itu bertuhan siapa? Mana ada Tuhan lahir belakangan setelah kehidupan dunia berjalan ribuan tahun. Yesus yang dianggap punya ayah, dianggap Tuhan ayahnya. Yesus juga punya Ibu, betul karena ibunya adalah Maryam. Nabi Isa juga punya kakek, punya nenek. Dengan begitu, persoalannya menjadi lebih runyam. Apakah seorang kakek, seorang nenek, harus menyembah cucunya sendiri yang menjadi Tuhan ? Karena lemahnya logika itulah, oleh Al-Qur’an disebut dengan awhanul-buyut. Mudah-mudahan dengan konfigurasi dan gambaran ini, keimanan kita semakin mantap dan makin memproyeksikan diri menggapai taqwa yang sangat berkualitas. Semoga bermanfaat.
Dr. KH. A. Musta’in Syafi’i, Mudir PP Madrasatul Qur’aN Tebuireng
Agama
Sastra
Terkini
Pendidikan, Terkini
berikut sebagian dokumentasi atas kejadian yang melanda salah satu karyawan tersebut.
Sastra
Bisa dibilang itu adalah warung favorit para santri Pondok Jagalan. Penjualnya adalah wanita yang umurnya melebihi lima puluh, namun tubuhnya sangat energik. Santri-santri menyebutnya Mak Tami. Warung ini juga dekat dengan Kali Gelis yang membelah antara Jombang Barat dan Jombang Timur.
Menu-menu yang disajikan beragam, dan keseluruhannya tradisional. Nasi pecel, nasi lodeh, nasi campur, mendoan, rujak, pisang goreng, dan sejenisnya. Kenapa bisa menjadi langganan para santri?
“Kenyang dan murah,” kata Kang Arip yang telah mondok lima tahun.
Memang mendoan di manapun berada berharga lima ratus perak. Tetapi, mendoan Mak Tami adalah mendoan jumbo yang lebih besar dari umumnya.
Aku juga sering ke warung itu, bersama dengan teman-teman santri akrab berjalan sekitar tiga ratus meter dari Pondok Jagalan. Tak ada yang istimewa selain porsi yang melebihi warung lain. Harganya pun sama.Hanya saja, dalam menyajikan minuman, Mak Tami tidak terlalu ahli. Setiap kali ia menuangkan teh panas ke dalam gelas, selalu saja ada yang jatuh ke meja, membuat meja tampak becek. Gula-gula yang beralih dari toplesnya pun banyak tercecer seolah ia bukan penyaji minuman yang ahli.
Mak Tami hanya menyerahkan senyumnya pada anak kecil, bisa dibilang cuek, dan mudah marah. Orangnya pendek, lumayan kurus, dan rambutnya yang perlahan memutih terikat dengan gelang karet yang biasanya digunakan sebagai pengikat bungkus nasi.
Lebih tepatnya warung ini berada di depan masjid Kaujon, setelah menyeberang jalan kecil, jalan desa. Mak Tami berjualan hanya pada siang hari. Ia menata dagangannya sekitar jam satu usai dhuhur dan mungkin akan habis sebelum matahari tertelan ufuk barat. Tidak ada warung lain di dekat warung Mak Tami. Kalaupun ada, itu sudah berjarak lebih dari lima puluh meter. Yang ada cuma jasa pemarutan kelapa yang kadang buka, kadang tutup. Dan di sampingnya lagi sebuah bengkel yang terlalu sering sepi karena letaknya yang tidak strategis. Di samping masjid, berjajar pula kios-kios penjual barang mentah, minyak tanah, beras, dan juga bahan-bahan konveksi.
Karena terletak di pinggiran kota, pepohonan tumbuh sangat jarang. Hanya tanaman-tanaman dan bunga-bunga dalam pot. Selebihnya rumput yang tumbuh secara liar dan ganas. Di belakang masjid, tumbuh pohon matoa yang lumayan banyak. Namun aku hanya bisa memandangnya ketika pohon itu berbuah dan buahnya masak.
Jika ditanya pondok mana yang paling dekat dengan masjid Kaujon, jawabannya adalah Pondok Jagalan. Pondok di mana aku berada, mengisi waktu dan hari dengan mengaji dan menuntut ilmu agama. Pondok ini ramai. Walaupun jumlah santrinya hanya berkisar 300-an, tetapi tidak sebanding dengan luas pondok yang ada.
Suatu hari, sekolahku mengadakan seminar motivasi dengan menghadirkan motivator nasional dari Jakarta. Seminar itu dihadiri oleh ribuan peserta dari Jombang maupun luar Jombang. Aku sangat tercengang sekali. Seumur hidup aku di pondok hanya berkelut dengan selimut kotor, kitab-kitab kuno, dan wajah kusam sahabat karibku. Tak pernah aku merasakan duduk di kursi seminar yang dibelongsong dengan kain mewah. Saat hendak duduk, aku harus berhati-hati jangan sampai kain itu kusut dan terlipat.
Acara ini digelar atas kerja sama antara sekolahku sebagai panitia penyelenggara dan sebuah lembaga di Jakarta sebagai penyokong dana. “Menurut Winston Chuchill, keberhasilan adalah kemampuan untuk melewati dan mengatasi dari satu kegagalan ke kegagalan berikutnya tanpa kehilangan semangat,” tutur Sang Motivator.
Aku manggut-manggut. Aku pikir semua temanku yang datang juga terkejut. “Oh, ternyata selama ini kita tak tahu apa-apa. Kita hidup di pondok pesantren dan tidak melihat kenyataan hidup yang terang benderang seperti ini.”
Sang Motivator itu pun melanjutkan dengan kutipan orang lain, “Seorang yang sukses adalah dia yang bisa meletakkan pondasi kokoh dengan menggunakan batu bata yang dilemparkan orang lain kepadanya, kata David Brinkley.”
Dalam sesi tanya-jawab, seseorang mengacungkan tangan dan menerima microphone, lalu bertanya dengan penuh semangat, “Bapak, mengapa Bapak sangat mendorong orang-orang untuk meraih kesuksesan dan keberhasilan, padahal Albert Einstein pernah bilang, ‘Try not to become a man of success, but rather try to become a man of value.’ Cobalah untuk tidak menjadi orang yang sukses, melainkan orang yang bernilai. Dan kata-kata ini juga senada dengan perkataan Ranchodas SC dalam film 3 Idiots. ‘Jangan bermimpi menjadi orang sukses. Bermimpilah menjadi orang besar, maka sukses akan mengikutimu.’ Bagaimana Bapak menanggapi ini? Terima kasih,” pungkas si penanya.
Sebelum pertanyaan itu terjawab, ada sesuatu yang mengganjal dalam isi kepalaku. Aku segera bangkit dari kursi dan tak mempedulikan lipatan-lipatan yang ada di belongsongnya. Aku keluar tanpa tanda tanya dari Kang Arip yang tadi di sebelahku. Setelah melewati ribuan kursi, akhirnya aku sampai di pintu keluar. Aku tak merasakan udara buatan AC lagi.
Beberapa resepsionis memandangiku dengan tatapan aneh. Mereka mengira aku mencari toilet, atau minta tambahan snack. Tapi aku lebih memilih beranjak ke bawah pohon yang tumbuh melengkung di depan gedung penyelenggaraan itu. Aku pun tak mengenali pohon apa itu. Setelah pantatku menyentuh rerumputan, aku menemukan apa yang sedari tadi mengganjal di dalam isi kepalaku. Oh, itu sebuah pertanyaan.
“Kenapa setiap orang yang ada di gedung itu mengutip kata-kata orang lain?”
***
“Kau tahu Winston Chuchill?” tanya Kang Arip pada Mahmudi yang sedang khusyuk menelaah kitab Safinatun Naja.
Mahmudi menaikkan kedua alisnya, pertanda ia tak tahu apa yang Kang Arip katakan. Menyebut nama itu pun susahnya bukan main, lebih susah daripada mengucapkan makharijul huruf. Mahmudi menggeleng kepala. “Siapa?”
“Winston Chuchill, tokoh terkenal internasional…” Kang Arip mengadahkan dagunya. “Tidak tahu kan? Kalo Albert Einstein? Pasti tidak tahu! Apalagi David Brinkley.”
Mahmudi mengalihkan pandangannya dari kitab yang sedang ia baca. “Kalau Imam Bukhori saya tahu, Kang. Namanya Muhammad bin Ismail, lahir di Bukhara tahun 810 Masehi. Tapi kalau nama yang Anda sebutkan tadi saya gak kenal sama sekali.”
“Winston Chucill, Albert Einstein, David Brinkley,” Kang Arip mengulangi lagi. “Coba sebutkan!”
“Gak bisa, ah!”
Kang Arip berseloroh. “Hahaha… makanya ikut seminar kemarin, jangan ngaji kitab gituan terus. Kapan kita bisa maju? Buktinya, kamu ndeso, kan?”
Mahmudi kehabisan kalimat. Kami masih melingkar berempat.
“Kang Arip, ikut aku yuk,” ajak Kang Qorib, teman sekamarku selain Mahmudi dan Kang Arip.
“Kemana?”
“Ke tempat di mana kita akan memborong banyak kutipan.”
“Di mana itu?”
“Warnet.”
“Warnet? Haram. Itu pelanggaran,” tolak Kang Arip.
“Tidak masalah, cuma sekali-kali, yang penting kita bisa mendapatkan kata-kata dari orang terkenal yang tingkatnya sudah internasional.”
Setelah dibujuk berapa lama, akhirnya Kang Arip mengikuti ajakan Kang Qorib. Mereka berdua berangkat dengan pakaian ala santri, mengendap-endap seperti tahanan lapas yang mau melarikan diri.
Sedangkan aku dan Mahmudi pergi ke warung Mak Tami dua jam setelah matahari tergelincir. Di warung itu, aku memesan nasi pecel, sedangkan Mahmudi memesan menu yang sama. Kebiasaan kami minum air putih dari teko yang telah disediakan.
Di tengah suap nasi pecel, datang seorang ibu membawa anaknya yang baru pulang dari sekolah. Ibu itu berniat membeli lauk yang akan dimakan di rumah. Sehabis ibu itu memesan dan membayar, Mak Tami memasukkan dua mendoan ke dalam plastik bersama dengan pesanan ibu itu secara gratis. “Ini buat adek,” kata Mak Tami dengan senyumnya. “Sekolah yang rajin, ya.”
Mak Tami memang terkadang begitu, memberikan gratisan kepada pelanggan. Apalagi kalau azan maghrib sudah terdengar, semua dagangannya akan digratiskan kepada santri yang datang.
“Sekarang kecipir susah nyarinya di pasar,” kata Mak Tami tiba-tiba. “Jadi pecelnya ya tidak ada kecipirnya.”
Aku baru menyadari kalau nasi pecel yang aku makan memang tidak ada sayuran merambat itu. Tapi aku rasa, kenikmatannya sama saja. Karena inti dari sebuah hidangan nasi pecel adalah sayur-sayuran dan bumbu kacang. Biasanya kangkung, bayam, kacang panjang, tauge, dan kol. Tapi setiap kabupaten memiliki pecelnya sendiri-sendiri.
“Tidak apa-apa, Mak,” balasku. “Rasanya sama saja.” Kini yang sedang duduk di warung ini hanya aku, Mahmudi, dan Mak Tami saja. Karena jam ramai telah berlalu tadi.
“Kecipir itu aslinya enak, mirip dengan bengkuang. Warnanya hijau, bentuknya panjang, rela dipotong-potong demi untuk dibuat nasi pecel. Bila belimbing memiliki lima sudut, kecipir memiliki empat sudut. Lima atau empat sama saja bagusnya.”
“Kalau yang lain, Mak? Apa masih gampang nyarinya?”
“Kalau gampang sih gampang! Harganya itu lho, kian hari kian melonjak, walaupun dua ratus rupiah. Jadi nasi pecel itu ibarat seorang anak yang diperjuangkan oleh orang banyak, seperti kalian. Nasi pecel itu tidak cuma dibuat dari satu bahan saja, tapi racikan dari beberapa sayuran dan bumbu. Kalian juga seperti itu, diperjuangkan oleh orangtua kalian, oleh saudara kalian, teman kalian sekamar, dan oleh Mbah Yai.”
Aku mengangguk mendengar kata-kata Mak Tami, sekaligus tertegun sadar bahwa diriku kini diperjuangkan. “Kalau nasi campur, Mak?”
“Nasi campur juga kumpulan dari beberapa bahan, mie, kering, tahu. Tapi bahan-bahannya tidak alami. Sedangkan nasi pecel alami, tanpa adanya proses sebelumnya selain cuma digodok dan diulek.”
“Hubungannya sama kita apa Mak? Ada gak?”
“Oh, ada. Itu menjadi sebuah pesan. Kalian harus menjadi alami, jangan sampai kalian dipengaruhi oleh hal-hal asing. Pemikiran kalian harus tetap berpijak pada kitab-kitab para ulama, kitabnya anak pondok. Jangan kagum dengan pemikiran-pemikiran orang Barat yang sesat. Apalagi perilaku mereka yang serba maksiat. Berpakaian saja tidak benar. Hi… aku malah risih.”
“O, begitu ya, Mak. Kalau mengikuti seminar boleh apa tidak?”
“Seminar? Ya boleh-boleh saja. Itu malah perlu. Tapi ingat, kita harus punya misi. Jangan sampai kita terbawa arus, kitalah yang harus membuat arus.”
Tak terasa nasi di piringku sudah habis. Setelah aku meneguk segelas air putih, aku dan Mahmudi langsung membayar. Kami berjalan melewati Masjid Kaujon yang telah menabuh bedug ashar.
Aku berkata pada Mahmudi bahwa kebanyakan mengutip kata-kata orang terkenal tidaklah baik. Percapakan dengan Mak Tami tadi hanyalah percakapan singkat. Dan aku yakin, Mak Tami yang kerjanya jualan nasi pecel itu lebih kolot dari kami semua. Tapi dia tetap mempertahankan kekolotan itu, karena kemodernan tidak bisa membuat ia menjadi lebih baik.
“Itu tadi cuma percakapan singkat. Sejak perkataannya kepada anak SD tadi ‘sekolah yang rajin ya’ sudah membuat hatiku berubah. Itu adalah sebuah kutipan. Kutipan yang biasa dipakai banyak orangtua, walaupun tidak keluar dari mulut internasional. Kalimat itu sudah menjadi penyemangat disertai dua buah mendoan.”
“Kalau begitu, kini saatnya kata-kata kita dikutip,” kata Mahmudi.
*) Penulis adalah Hilmi Abdillah, aktif di Sanggar Kepoedang (Komunitas Penulis Muda Tebuireng) Pesantren Tebuireng Jombang.Cerpen ini pernah dimuat di Radar Mojokerto (Jawa Pos Group) pada minggu (14/05/15)
Sastra
Hari semakin siang, setelah menghadiri majlis talaqqi di masjid Al-Azhar. Terik matahari yang semakin menyengat mencucurkan keringatku, asap kendaraan bermotor mengerutkan keningku menambah semangatku mempercepat langkahku ke halte busdarrosah(kawasan) perkuliahan mahasiswa.
Hampir tiga puluh menit aku menunggu bis angkutan umum berwarna merah “80/”(delapan puluh coret). Tapi aku putuskan untuk naik tramco untuk menghemat waktu. Setelah tramco penuh, sang sopir pun menjalankan mobil yang membawa kami. Di tengah perjalanan, tepatnya di nadi syurthah masih dekat dengan bu’uts(asrama putra mahasiswa Al-Azhar yang mendapat beasiswa dari Al-Azhar) aku melihat kejadian yang cukup unik dan menggelitik perut, aku pikir ini hanya terjadi disini dan tidak akan pernah aku lihat di Indonesia. Memang di Mesir ini banyak sekali hal-hal unik dan lucu yang belum pernah aku saksikan di negeriku sendiri. Saat itu sang sopir tramco menghentikan mobilnya di tengah jalan. Ia yang ketika itu sedang minum syaai sambil mengemudikan mobilnya, memberikan teh yang sempat ia nikmati kepada rekannya sesama sopir tramco yang juga berhenti tepat di sebelah tramco yang aku naiki. Padahal saat itu di belakang kami dan dibelakang tramco yang dikemudikan oleh kawan sopir tramco tadi terdapat beberapa mobil yang ingin melewati jalan tersebut. Jadilah mereka harus menuggu beberapa saat karena ulah kedua sopir tramco tersebut. Lucu dan menggelikan sekali kejadian tersebut. Masak sempat-sempatnya minum teh berdua di tengah jalan ketika sedang mengendarai mobil. Aku pun hanya bisa tersenyum kecut melihat hal itu. Di satu sisi aku melihat adanya hal positif dari kejadian itu, keinginan untuk saling berbagi dengan sesama. Di sisi lain, aku melihat kurang tepatnya si sopir untuk menempatkan sesuatu yang baik pada tempatnya. Berbagi itu baik dan indah namun kalau berbaginya dengan cara yang seperti itu, tidak bisa dibenarkan secara etika dan logika.
“Ayyuwah ‘ala ganbik ya asytho, niziil gaami’ ”dengan lantang kutirukan lahjah orang mesir memberitahu sopir agar diturunkan digami’ hay ‘asyir, kawasan yang sebagian besar di huni para mahasiswa Asia khususnya Indonesia.
Sekilas kusapu pandangan ke sekeliling kompleks gami’ kutarik napas dalam-dalam membiarkan penat hilang bersama hembusan nafas. Seketika perutku berdendang, tanpa pikir panjang aku langsung tancap ke syabrowi, restoran khas makanan Mesir. Sambil menenteng tha’miyyah bil bet, dinamit , dan tho’miyyah bil baadzinjaan aku teringat perkataan salah seorang seniorku, “Ibarat bendera Mesir, Merah menunjukkan perjuangan yang takkan pernah habisnya, Putih di nisbatkan kepada Nabi Musa yang perilakunya mulia, Hitam melambangkan kegelapan yang dikiblatkan ke Fir’aun, buruk lagi congkak tak terhingga”.
Adzan Dzuhur sudah berkumandang, kulewati jalan swessry. Langkahku tertahan memandang di luar sudut Masjid Jami’ Ar-Rohman, berjejer penjual qibdah(roti isi hati sapi), di samping kanannya duduk nenek berjubah yang di depannya tersedia dua rak ‘isy(roti dari gandum).
Nenek itu tersenyum ramah melihatku menghampirinya, “sepertinya dia sudah sering melihatku mondar mandir di jalan swessry” sangkaku. Memang kontrakanku tepat di belakang Masjid Jami’ Ar-Rohman. Rasa penasaranku semakin menjadi, kurogoh plastik bertuliskan syabrowi, “Ittafadholli ya mamah” sapaku sambil menyodorkan tho’miyyah. Mamahpun menerimanya dengan senang hati.
Agak rikuh untuk langsung bertanya, namun kupaksakan demi rasa penasaranku untuk mengobrol dengan mamah. Ada batu agak besar di samping jualan mamah, ku duduk sembari meletakkan ransel di pahaku. Penjual qibdah nongol dari gerobak qibdahnya “enta min siin?” tegurnya sambil memutar tutup tabung gas berwarna biru di sampingku. “La ah, ana anduniisi” sahutku. Masak kulitku yang berwana sawo matang ini dibilang orang Cina. Mamah hanya tersenyum mendengar kami berdua saling menyahut.
Selama ini jika orang Mesir bertanya masalah asal, tak jarang orang Mesir langsung selonong dengan pertanyaan,”apakah kamu berasal dari Cina atau tidak?”. Semua orang Asia dikira orang Cina. Entahlah, mungkin mereka buta warna dan bentuk wajah untuk membedakan antara orang Cina dan Indonesia.
Kumulai obrolanku menggunakan bahasa ‘ammiyyah , “Nama mamah siapa ?” .
“Nama saya? Panggil saja Ummu Isma’il” sahutnya dengan lirih dan senyum khasnya, mungkin sebab gigi mamah banyak yang tanggal. Terlihat guratan perjuangan kehidupan di wajahnya, rambut yang berselang-seling putih dan hitam, menarik diriku ingin tahu lebih dalam.
“Nama asli mamah siapa? Kenapa di panggil Ummu Isma’il” responku lebih dalam. “Apakah harus ya di sebutkan nama asli saya? Isma’il itu nama anak saya yang pertama sekarang umur enam belas tahun, juga ada dua orang anak perempuan juga di rumah”, jelas si mamah.
Kuberanikan bertanya lebih dalam lagi, “kenapa mamah disini setiap hari menju’al ‘isy disini? Kemana suami mamah?” seketika itu juga mamah memandang lurus kedepan dengan pandangan kosong
“Suami saya juga penjual ‘isy juga”, saat kami ingin melanjutkan obrolan datang pembeli memanggil nama Ummu Isma’il seperti sudah tidak asing lagi dengan nama itu.
“Maaf nak, tadi mamah tinggal sebentar, semenjak enam tahun ditinggal suami, saya meneruskan usaha suami saya. Suami saya dulu terkena penyakit diabetes sehingga kedua kakinya di amputasi di rumah sakit, tapi saya tidak memutuskan semangatnya selalu berjualan ‘isy disini” sambil menunjuk ‘affas(sangkar dari kayu yang ia jadikan tempat duduk). Sontak aku tercenung. Kemudian kusahut dengan do’a “Allahummaghfirlahu Warhamhu Wa ‘aafihi Wa’fu ‘anhu”
“Aamiin Ya Rabb… Aamiin” mamah menjawab dengan penuh khusyu’ dengan mencium perut dan punggung tangan kanannya kemudian menangadahkan tangannya ke atas langit.
‘Isy atau roti yang terbuat dari gandum merupakan makanan pokok orang Mesir, di sebut ‘isy karena kata ‘isy berasal dari kata‘aasya- ya’issyu yang bermakna kehidupan. Begitu juga kata mamah “ni’matul ma’isy bi akli ‘isy”(kenikmatan hidup di rasakan dengan memakan ‘isy). Aku mengangguk mengamini perkataan mama, walaupun dalam hati sebenarnya aku lebih suka nasi di bandingkan‘isy.
Dalam proses pembuatannya, konon sebelum membuat ‘isy, para tukang ‘isy salat dua raka’at terlebih dahulu, dengan harapan ‘isyakan memberikan keberkahan bagi penduduk Mesir.
“Suami saya Abu Isma’il wafat ketika selesai Shalat ‘Asar” dengan bangga dan bercampur haru mamah mencurahkan isi hatinya kepadaku.
“Apakah mamah tidak dapat biaya santunan dari Negara?” tanyaku.
“Demi Allah, bekerja dari keringat sendiri lebih baik dan berkah di bandingkan mendapat santunan, saya melarang diri saya untuk menerimanya” dengan santun mamah mengimbuhkan. Mamah yang berumur lebih dari enam puluh tahun ini tetap baik hati dan ramah melayani pelanggan walaupun kaki kiri mamah mulau ringkih termakan usia. Selalu saja setiap ada kenalan mamah lewat, mamah akan melambaikan tangan dengan senyum khas, dalam hatiku berkata “Ya Allah, masih ada orang seramah dan baik hati seperti mamah. Seandainya semua orang mesir baik hati seperti ini”.
Berkali – kali ku tawarkan air minum ke mamah, tapi ia tidak mau menerima. Justru mamah menawariku air yang mineral yang sudah lusuh berdebu.
Mamah dari tiga anak ini bekerja dari pukul delapan pagi sampai selesai isya’, semua dilakukannya dengan penuh semangat dan keikhlasan. Bahkan jika tiba waktu shalat, ia shalat tepat waktu. Penghasilan perhari yang ia raih mungkin hanya sekitar 20-30 L.E. (sekitar 42.000 rupiah) tapi itu tidak melunturkan semangatnya untuk menyekolahkan anaknya. Setiap hari dari bolak balikduwaia(kawasan sayyidah aisyah) ke ‘asyir dengan gagah dan ramah melayani para pembeli, bahkan kalau macet ia harus berangkat dari pagi buta.
“Misr ummu dunya (mesir intisari alam semesta)” hiburku ke mamah.
“Mamah suka lagu ummu kultsum?” tanyaku. “iya saya suka” jawab mamah. Ku keluarkan handphone dari saku celana kiriku lalu kuputar salah satu lagu ummu kultsum yang berjudul “aruuh li miin”. Seketika itu mamah melihat lurus ke depan dengan pandangan kosong, “Almarhum Abu Isma’il juga suka lagu ummu kultsum” kata mamah.
Setelah selesai satu lagu, aku izin untuk meneruskan perjalanan menuju kontrakan. Sebelum beranjak pergi ku do’akan almarhum dan keluarga mamah agar selalu diberi kesehatan dan keberkahan di dalam hidupnya.
“Subhanallah” kuagungkan nama-Mu Ya Rabb, banyak hal kecil di sekitarku, namun aku kurang peka dalam menanggapinya. Sesungguhnya seseorang tidak mampu mengubah hati orang lain untuk berbaik sangka kepada dirinya, namun seseorang mampu mendidik hati diri sendiri untuk berbaik sangka kepada diri sendiri.
Bagi manusia yang berpikiran biasa, mungkin kebahagiaan itu terletak pada masa depan, pada pikirannya tentang teka-teki yang belum terlihat, mereka senang berpikir soal surga dengan ribuan kolam susu.
Namun, bagi manusia yang tercerahkan, kebahagiaan itu saat ini. Saat ia mampu menyeimbangkan hati, pikiran dan tindakan. Mereka yang tersenyum melihat dunia bekerja dan tidak pernah kecewa karenanya, karena kekecewaan adalah mesin cetak air mata.
Aku bangga padamu wahai Ummu Ismail. “Robbuna yubaarik fiik”.
Oleh : Arif Harmi Hidayatullah
*) Santri angkatan 2011, asal Bima Nusa Tenggara Barat. Sedang menempuh studi di Jami’ah Al-Azhar Kairo Mesir.