Berkaca  mata, murah senyum, bersahabat dengan buku dan terbuka dengan siapapun. Sebut saja Khoiruroziqin,  seorang Pelajar sekaligus santri asal Kediri yang tengah menimba Ilmu di Pondok Pesantren Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari. Ia merupakan salah satu Pelajar berprestasi yang dimiliki oleh MA. Salafiyah Syafi’iyah Tebuireng Jombang. Pelajar kelahiran 17 Tahun silam itu telah mengukir prestasi dengan meraih Peringkat I di Kelas Paralelnya dengan nilai rata-rata 86,76 kala kelas XI semester lalu. Berkat usahanya tersebut ia mampu mendapat beasiswa prestasi dari Madrasah tempat ia menyelam ilmu selama 5 Tahun ini.


    Roziqin, anak bungsu dari 5 bersaudara yang terlahir dari pasangan H. Muntawaim dan Hj. Muyasaroh itu bercita-cita menjadi Wiraswasta  sukses dan tetap mengamalkan ilmu Agamanya tersebut mengaku bahwa seseorang yang menjadi motivatornya adalah sang kakak perempuan yang kini tinggal bersama sang suami di Luar Kota, Krian Sidoarjo. Berkat sang kakak yang telaten dan perjalanannya dahulu yang mampu bertahan mencari Ilmu di Semarang selama 6 Tahun dan Malang 4 Tahun membuat Roziqin semakin berbesar hati ia mampu seperti sang kakak.“Dulu yang mengajari saya menulis, menemani belajar ya Kakak. Kalau di Pondok sekarang ya teman-teman”, cerita Roziqin yang kini berada di kelas MA akhir jurusan MAK.

    Pelajar sekaligus santri PP. Tebuireng ini memiliki cara belajar yang cukup membantu dia dalam membagi waktu dengan kegiatan Pondok yang cukup padat.“kalau ada tugas sekolah ya langsung dikerjakan di sekolahan ketika ada jam kosong, karena mubadzir jika ada waktu luang tidak digunakan belajar atau sekedar baca buku”, jelas santri yang sekarang aktif di Buletin Pena Santri ini.

    Ia pun mengaku bahwa ia selalu memiliki target disetiap bulannya untuk memahami suatu pelajaran.Target itu pun terpacu dengan sosok KH Ishaq Latief yang selalu mendorong santri dengan tutur beliau yang merendah namun bermakna.

    “Kyai Ishaq pernah berkata, “Saya yang lulusan Mts saja bisa begini, apalagi kalian yang MA dan Kuliah. Harusnya lebih baik”  begitulah sebagian motivasi dari Kyai asal Sidoarjo itu”, Ingat Roziqin.

    Dengan kesederhanaan dan senyumnya, Roziqin pun mulai menata perjalanannya. Berawal dari MI Al-Fatah badas Kediri, MTs-MA Salafiyah Syafi’iyah Tebuireng dan mungkin nanti berlanjut ke Universitas Hasyim Asy’ari Tebuireng, selanjutnya Studi ke Jogja atau ke Luar Negeri. Sebuah harapan dan keinginan Pelajar sekaligus santri yang tetap ingin bermanfaat bagi sekitarnya.(Fatim)

    Selain nyantri, Cak jahlun juga nyambi jualan krupuk di pesantren putri. “Itung-itung nambah penghasilan”, pikirnya.




    Suatu hari ia putus asa karena hingga sore hari dagangannya tidak laku. Untuk menarik perhatian para santriwati dan para ustadzah, Cak Jahlun mulai bertingkah.

    “Tolong… Tolong…,” teriak Cak Jahlun. Ning Minah yang kebetulan lewat lansung menghentikan langkahnya. “Ada apa Cak..?” Ning Minah berusaha menghampiri Cak Jahlun.

    “Ini ada krupuk rambak, krupuk uyel, krupuk upil: renyah dan gurih, tolong dibeli,” tawar Cak Jahlun. “Ooooo… Dasar upilmu renyah kayak krupuk,” maki Ning Minah.

    sumber : tebuireng.org

    Dalam kitab suci al-Qur’ân disebutkan: “masuklah kalian ke dalam Islam (kedamaian) secara penuh (udkhulû fi al-silmi kâffah)” (QS al-Baqarah [2]:208). Di sinilah terletak perbedaan pendapat sangat fundamental di antara kaum muslimin. Kalau kata “al-silmi” diterjemahkan menjadi kata Is­lam, dengan sendirinya harus ada sebuah entitas Islam formal, dengan keharusan menciptakan sistem yang Islami. Sedangkan mereka yang menterjemahkan kata tersebut dengan kata sifat kedamaian, menunjuk pada sebuah entitas universal, yang tidak perlu dijabarkan oleh sebuah sistem tertentu, termasuk sistem Islami.




    GusdurBagi mereka yang terbiasa dengan formalisasi, tentu digunakan penterjemahan kata al-silmi itu dengan kata Islami, dan dengan demikian mereka terikat kepada sebuah sistem yang dianggap mewakili keseluruhan perwujudan ajaran Islam dalam kehidupan sebagai sesuatu yang biasa dan lumrah. Hal ini membawakan implikasi adanya keperluan akan sebuah sistem yang dapat mewakili keseluruhan aspirasi kaum muslimin. Karena itu, dapat dimengerti mengapa ada yang menganggap penting perwujudan “partai politik Islam” dalam kehidupan berpolitik. Tentu saja, demokrasi mengajarkan kita untuk menghormati eksistensi parpol-parpol Islam, tetapi ini tidak berarti keharusan untuk mengikuti mereka.

    Di lain pihak kita juga harus menghormati hak mereka yang justru mempertanyakan kehadiran sistem Islami tersebut, yang secara otomatis akan membuat mereka yang tidak beragama Islam sebagai warga dunia yang kalah dari kaum muslimin. Ini juga berarti, bahwa dalam kerangka kenegaraan sebuah bangsa, sebuah sistem Islami otomatis membuat warga negara non-mus­lim berada di bawah kedudukan warga negara beragama Islam, alias menjadi warga negara kelas dua. Ini patut dipersoalkan, karena juga akan berdampak pada kaum muslimin yang tidak menjalankan ajaran Islam secara penuh. Kaum muslimin seperti ini, -sering disebut muslim nominal atau abangan-, tentu akan dinilai kurang Islami jika dibandingkan dengan mereka yang menjadi anggota/warga partai/organisasi yang menjalankan ajaran Islam secara penuh, yang juga sering dikenal dengan nama “kaum santri”.

    Apabila terdapat pendapat tentang perlunya sebuah sistem Islami, mengapa lalu ada ketentuan-ketentuan non-organisatoris yang harus diterapkan di antara kaum muslimin oleh kitab suci al-Qur’ân? Sebuah ayat menyatakan adanya lima syarat untuk dianggap sebagai “muslim yang baik”, sebagaimana disebutkan dalam ayat-ayat di kitab suci al-Qur’ân, yaitu menerima prinsip-prinsip keimanan, menjalankan ajaran (rukun) Islam secara utuh, menolong mereka yang memerlukan pertolongan (sanak saudara, anak yatim, kaum miskin dan sebagainya) menegakkan profesionalisme dan bersikap sabar ketika menghadapi cobaan dan kesusahan.

    Kesetiaan kepada profesi itu, digambarkan oleh kitab suci al-Qur’ân dengan istilah, “mereka yang memenuhi janji yang mereka berikan” (wa al-mûfûna bi ‘ahdihim idzâ ‘âhadû) (QS al-Baqarah [2]: 177). Adakah janji yang lebih nilainya daripada janji kepada profesi masing-masing, yang disampaikan ketika membacakan janji prasetia pada waktu menerima sebuah jabatan?

    Kalau kelima syarat di atas dilaksanakan oleh seorang mus­lim, tanpa menerima adanya sebuah sistem Islami, dengan sendirinya tidak diperlukan lagi sebuah kerangka sistemik menurut ajaran Islam. Dengan demikian, mewujudkan sebuah sistem Islami tidak termasuk syarat bagi seseorang untuk dianggap “mus­lim yang taat”. Ini menjadi titik sengketa yang sangat penting, karena di banyak tempat telah tumbuh paham yang tidak mementingkan arti sistem.

    Maka ketika NU (Nahdlatul Ulama) menyatakan deklarasi berdirinya PKB (Partai Kebangkitan Bangsa), tanpa menyebutkan bahwa partai tersebut adalah partai Islam, penulis dihujani kritik tajam selama berbulan-bulan dari mereka yang menginginkan partai tersebut dinyatakan sebagai partai Islam. Ini dilakukan oleh mereka yang tidak menyadari, bahwa NU sejak semula telah menerima kehadiran upaya berbeda-beda dalam sebuah negara atau kehidupan sebuah bangsa dan tidak mau terjebak dalam tasyis an-nushush al-muqaddasah (politisasi terhadap teks keagamaan).

    Dalam Muktamar NU tahun 1935 di Banjarmasin, muktamar harus menjawab sebuah pertanyaan: wajibkah bagi kaum muslimin mempertahankan kawasan yang waktu itu bernama Hindia Belanda (sekarang Indonesia) yang diperintah oleh orang-orang non-muslim (para kolonialis Belanda)? Jawab muktamar saat itu; wajib. Karena di kawasan tersebut, yang di kemudian hari bernama Indonesia, ajaran Islam dapat dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari oleh warga bangsa secara bebas, dan dahulu ada kerajaan-kerajaan Islam di kawasan itu. Dengan demikian, tidak harus dibuat sistem Islam, dan dihargai perbedaan cara dan pendapat di antara kaum muslimin di kawasan tersebut.

    Diktum Muktamar NU di Banjarmasin tersebut, memungkinkan dukungan pimpinan NU kepada mendiang Presiden Soekarno dan Hatta untuk memimpin bangsa ini. Demikian pula, pembentukan badan-badan formal Islam bukanlah satu-satunya medium bagi perjuangan Islam untuk menerapkan ajaran di bumi nusantara. NU yang resminya sebagai organisasi kemasyarakatan Islam dan bukannya lembaga politik, dapat saja menyalurkan aspirasinya tentang pelaksanaan ajaran Islam di kawasan tersebut melalui Golkar (Golongan Karya) yang bukan sebagai organisasi Islam resmi. Perbedaan jalan perjuangan antara yang menganut paham lembaga Islam sebagai sistem di satu pihak, dan mereka yang tidak ingin melaksanakan perjuangan melalui jalur-jalur resmi Islam, dihargai dan diterima oleh para pendukung Ibn Taimiyyah2 beberapa abad yang lalu.

    Lalu, bagaimana dengan adagium yang dikenal Islam; “Tiada Islam tanpa kelompok, tiada kelompok tanpa kepemimpinan, dan tiada kepemimpinan tanpa ketundukan” (La Islama Illa bi Jama’ah wala Jama’ata Illa bi Imarah wala Imarata Illa Bi Tha’ah)3. Bukankah ini sudah menunjukkan adanya sebuah sistem, maka jawabannya bahwa tidak ada sesuatu dalam ungkapan tersebut yang menunjukkan secara spesifk adanya sebuah sistem Islami. Dengan demikian, setiap sistem diakui kebenarannya oleh ungkapan tersebut, asal ia memperjuangkan berlakunya ajaran Islam dalam kehidupan sebuah bangsa/negara.

    Karena itu penulis berpendapat, dalam pandangan Islam tidak diwajibkan adanya sebuah sistem Islam, ini berarti tidak ada keharusan untuk mendirikan sebuah negara Islam. Ini penting untuk diingat, karena sampai sekarang pun masih ada pihak-pihak yang ingin memasukkan Piagam Jakarta ke dalam UUD (Undang-Undang Dasar) kita. Dengan klaim mendirikan negara untuk kepentingan Islam jelas bertentangan dengan demokrasi. Karena paham itu berintikan kedaulatan hukum di satu pihak dan perlakuan sama pada semua warga negara di hadapan Undang-Undang (UU) di pihak lain.

    MEMORANDUM, 22 Juli 2002

    History shows that pesantren (Islamic boarding schools) have made a great contribution to the independence of this country; most have also played a significant role in making Indonesian Muslims moderate and tolerant. However, the condition of pesantren, especially in rural areas, is deplorable. Most have been left behind in comparison to other educational institutions in urban areas. One reason is the lack of attention from the government on the development of pesantren.

    Thus, the government needs to create an affirmative program to help the schools develop, and to support their surrounding communities to face the influence of globalization. Only about 7 percent of students from rural areas continue their studies to a university level; most cannot study in major cities due to the high living costs.

    The affirmative program should include affordable non-religious studies for people in rural areas. Such programs would have a multiplier effect, which would improve their competitiveness. Importantly, these programs would reduce urbanization as well as reducing the gap between urban and rural areas; and they are plausibly a good method of de-radicalization.

    Not many understand that the oldest and earliest education in the Indonesian archipelago was Islamic education, particularly in pesantren. Islamic education started in the ninth century in Barus, on the western coast of Sumatra, when many foreigners including Islamic scholars arrived there. Foreigners were particularly attracted to the camphor trees in the area, as their sap can be used to produce kapur barus (camphor).

    Historical records suggest that the zenith of Islam in the archipelago occurred from 1400 to 1680. Modern Malay civilization developed the use of Arabic script for writing instead of the Latin alphabet; this became known as the Jawi script. Well-known scholars during this time included Hamzah Fansuri, Syamsuddin Sumatrani, Nuruddin al-Raniri and Abdurrauf al-Singkili.

    Anthony Johns considered the Malay people’s conversion into Muslims as a remarkable historical development. Firstly, it happened during the setback of the Islamic imperium in the Middle East. Secondly, the process was relatively rapid, in the absence of political support from any military power. Thirdly, the number of people converting from Hinduism to Islam was more than 89 percent of the population. Indisputably, the key to this phenomenon was the existence of pesantren.

    The Walisongo (nine Javanese Islamic saints) were the early figures who spread Islam in the future Indonesia. One of the Walisongo, Maulana Malik Ibrahim, who died in 1419, is known as the grand master of the pesantren tradition. Meanwhile, Java’s oldest pesantren is Tegalsari in Ponorogo, East Java, which was established 300 years ago by Hasan Besari. Ronggowarsito, a great Javanese poet, was one of his students.

    Several old pesantren that are still in operation today include: the Sidogiri in Pasuruan, East Java, which was first established in 1745; the Jamsaren in Surakarta, Central Java, established 1750; Miftahul Huda in Malang, East Java, established 1768; the Buntet in Cirebon, established 1785; Darul Ulum in Pamekasan, Madura, East Java, established 1787; and Langitan in Tuban, East Java, established 1830.

    Several pesantren which are now well-known were actually established at later times, such as the Tebuireng in Jombang, East Java (established in 1899), Lirboyo in Kediri (established in 1910) and Gontor in Ponorogo, East Java (established in 1926).

    In the Minangkabau highlands in West Sumatra, a similar institution to the pesantren exists, called the surau, as does the dayah in Aceh.

    Secular educational institutions were established by the Dutch East Indies in the early 1840s at the suggestion of Snouck Hurgronje. The main purpose was to attain more educated employees for the Dutch administration and private companies. However, the development of the secular educational institutions was also believed to challenge the influence of pesantren which had begun to irritate the colonial government.

    According to Hurgronje, the culture of the East Indies had to be combined with European culture. The Dutch education system was thus expanded, making many more Indonesians eligible to attend. This education policy, later part of the “ethical policy” toward colonial subjects, was deemed the best political decision to reduce and eventually defeat the influence of Islam in the Dutch East Indies.

    In 1919, the Bandung School of Technology was set up, followed by the School of Law in 1924 and the School of Medicine in 1926, the latter two both in Jakarta. Interestingly, even though many students received a western education, they did not lose their identities.

    A number of them gathered in Jakarta in October 1928 to hold the second youth congress, which then resulted in Sumpah Pemuda (The Youth Pledge). That moment surely formed the embryo of Indonesian independence. To achieve this vision, the future years saw cooperation and understanding between our founding fathers, who graduated from pesantren and western style education.

    In 1950, the religious affairs minister of the time, Wahid Hasyim, and the education minister, Bahder Johan, signed a memorandum of understanding (MoU) to combine Islamic and secular education. Furthermore, the pesantren also contributed to the establishment of the Islamic Indonesian University (UII) as the first private university in Indonesia. The proponents of Islamic higher education further enabled many pesantren alumni to continue their studies in any discipline they chose.

    Nowadays, there are some 28,000 pesantren across Indonesia, mostly in East Java. In 1971 there were 4,200 such schools while, in 1998, the figure rose to 8,000, and rose again to 22,000 by 2008. The increasing number of schools shows the public’s appreciation as many citizens choose to send their children to pesantren — which have continued their tradition, over hundreds of years, of educating our society.

    The writer is the director of Tebuireng Pesantren, Jombang, East Java.

    Sumber: thejakartapost.com




    مَثَلُ الَّذِينَ اتَّخَذُوا مِنْ دُونِ اللَّهِ أَوْلِيَاءَ كَمَثَلِ الْعَنْكَبُوتِ اتَّخَذَتْ بَيْتًا وَإِنَّ أَوْهَنَ الْبُيُوتِ لَبَيْتُ الْعَنْكَبُوتِ لَوْ كَانُوا يَعْلَمُونَ (41) Al- A’nkabut

    Al-Qur’an hadir tidak sekedar memberi petunjuk bagi umat manusia meraih kebahagiaan ganda isi para sastrawan yang gemar mengomentari hal-hal besar dan lupa mengangkat makhluk tuhan yang sepele, yang kecil. Akan tetapi Al-Qur’an hadir dari makhluk yang paling besar, hewan yang terbesar sampai hewan yang terkecil diungkap dalam berbagai perspektif. Ada al-fil, gajah dalam konteks pasukan perang yang sebegitu dahsyat waktu itu dengan kekuatan militer penuh, artileri yang tak terbayangkan hebatnya. Tuhan tidak perlu menghadapi kekuatan itu dengan kekuatan yang besar untuk memproteksi rumah-Nya sendiri, baitulLah. Tuhan cukup menunjuk burung kecil, bul-bul (ababil), yang dipersenjatai secara misterius dan supercanggih. Binasalah tentara gajah itu, ka’ashfim- ma’kul , seperti rerumputan kering yang dikunyah-kunyah oleh hewan ternak. Apa maksudnya ? Sesungguhnya tidak ada kekuatan yang berarti di hadapan Tuhan. Apalagi manusia yang jauh lebih ringkih dibanding tulang-belulang dan kulit gajah, tidak ada apa-apanya.

    Kemudian ditunjuk al-ibil , unta dalam konteks akademik dan perspektif keilmuan dengan bahasa penelitian, afala yandzhuruna ila al-ibili kaifa khuliqat. Dunia biologi mengakui bahwa keunikan yang amat mengagungkan pada tubuh unta. Itu artinya sains atau ilmu normal, ditantangkan di sini untuk mengimbangi ilmu Tuhan, untuk menggali ilmu-ilmu Tuhan. Senada dengan al-ibil, adalah al-baqar. Dalam konteks ini, baqarah itu pada dunia mistik yang tak terbayangkan oleh akal. Sehingga peristiwa diangkat pada zaman Nabi Musa, bagaimana untuk melacak pembunuh misterius. Tuhan memirintahkan agar yang bersangkutan menyembelih seekor sapi. Dan dari sapi yang disebut shafra’u faqi’ul-launuha itu pembunuh berhasil ditangkap dengan cepat, meskipun tanpa bantuan intelejen maupun Densus 88. Itu artinya bahwa ada dimensi spiritual, dimensi yang lain, yang memang milik Tuhan. Dan yang kita tahu hanya sebagian saja.

    Lalu, hewan-hewan yang tekecil yang akan kami angkat adalah al-‘ankabut, laba-laba. Binatang ini tidak bisa dipandang remeh, meskipun rendah menurut pandangan manusia, tapi sangat berjasa dalam agama. Pada bulan-bulan sekarang, adalah bulan-bulan monumental yang sesungguhnya Hadhratur-Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam melaksanakan hijrah, yakni pada awal-awal Bulan Rabi’ul Awwal, meskipun programnya pada bulan Muharram. Dengan rute yang aneh, masuk dulu ke Gua Tsur. Dan kehebatan pelacak, mampu menemukan jejak kaki Hadhratur-Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam sampai ke mulut gua. Tuhan memang kuasa, tapi Tuhan harus menunjukkan tanda-tanda kekuasaan-Nya dengan tanda-tanda yang dibuatnya sendiri. Bisa dibayangkan, tiba-tiba al-‘ankabut langsung mendesain rumahnya persis menutup mulut gua secara bagus, artistik dan rapi dalam waktu yang singkat. Sehingga para pemburu Nabi yang berhadiah 100 ekor unta itu dihadapkan dalam problem dilematik. Satu sisi perasaannya, hati nuraninya mengatakan bahwa pastilah Muhammad itu masuk ke Gua ini. Karena hasil pelacakannya seperti itu. Tetapi akal menunjukkan fenomena lain, laba-laba yang merupakan makhluk kecil dan tak diperhitungkan siapapun, malah sebagai sebab selamatnya nyawa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan sahabatnya. Di sinilah ada pertarungan antara logika akal yang mengatakan andai Muhammad itu masuk sini, pasti rusak sarang laba-laba tersebut. Ternyata dalam akal itu terdapat kekurangan, dan tak seluruhnya sempurna. Para pemburu Rasulullah melupakan kecepatan laba-laba itu membuat jaring-jaring yang menutupi mulut gua. Sehingga dikiranya sudah lama. Maka diputuskanlah berdasarkan akal, mereka mundur, menghentikan pengejaran. Dan kesimpulan mundur itu salah. Andaikan menggunakan rasanya, maka akan menemukan yang diburu.

    Untuk itu se-‘alim apapun, tidak bisa rumusan akal itu menjadi suatu pedoman. Masih ada Tuhan Yang Maha Segalanya di luar itu semua. Terus apa yang bisa kita petik ? Sesungguhnya antara hewan dengan kita manusia, itu sama. Daging, hewan juga punya. Apalagi daging hewan itu lebih enak dan laku dijual. Sedangkan daging kita tidak laku. Ada tulang, kulit, hewan juga makan, kawin, mati, dan lain lain. Sama sesungguhnya. Tetapi Tuhan menunjukkan, ada hewan-hewan remeh tapi mempunyai jasa yang besar di dalam kehidupan ini, dalam agama ini, seperti laba-laba. Persoalannya adalah, apakah kita ini malu ? Apa yang harus kita lakukan sehingga sebagai hamba Allah yang diberi kelebihan akal sehat, pikiran yang hebat, semestinya prestasi ketaqwaannya jauh. Prestasi pengabdiannya terhadap agama jauh dan melebihi dari semu hewan-hewan yang ada.

    Untuk itu, seorang sufi membahasakan bahwa seluruh bunyi-bunyian hewan itu adalah tasbih yang kita tidak mengerti bahasa mereka. Seluruh ucapan, kicauan hewan-hewan itu adalah sindiran terhadap kita yang lalai. Hanya saja kita tidak paham sindiran tersebut, walakin la tafqahuna tasbihahum. Hanya Nabiyullah Sulaiman saja yang diberi pemahaman bisa menangkap sindiran-sindiran hewan, termasuk ketika beliau dengan tentaranya mau lewat dan mendengarkan komandan semut untuk mengintrusksikan bawahannya agar masuk lubang supaya tidak terinjak-injak pasukan Nabi Sulaiman sementara mereka tidak merasa. Sindiran yang hebat. Tersinggungkah kita ? Semut itu benar. Bahwa biasanya orang besar menyakiti, menginjak-injak orang kecil itu tidak merasa sadar. Masih bagus kalau merasa sadar. Tapi disindir oleh semut, la tasy’urun.

    Kemudian Al-Qur’an telah menunjukkan bahwa awhanul-buyut, rumah yang paling lemah di dunia adalah rumah laba-laba. Studi di Cornell Univesity menunjukkan bahwa benang yang dihasilkan oleh laba-laba itu kelenturannya bisa 5 kali lipat. Dari 1 cm benang yang ada bisa diulur, ditarik menjadi 5 kali panjangnya dengan tanpa putus dan tetap kuat. Ditunjuk lagi bahwa senar benang laba-laba itu 5 kali kekuatan serat baja dalam ukuran yang sama. Ditunjuk lagi bahwa andaikan bisa dikumpulkan, maka menjadi bahan anti peluru yang terhebat di dunia terbuat dari senar laba-laba. Di mesir, seminar dibuka dalam perspektif kebahasaan dan menunjukkan hasil yang mengecewakan waktu itu. Bahwa hubungan antara fi’il dan fa’il isim dzhahir seperti yang tertera pada ayat ini sebagai hubungan yang janggal dan tidak selaras dengan kaidah nahwu. Kamatsali al-‘ankabut ittakhadzat baita. Siapapun tahu bahwa al-‘ankabut merupakan bentuk mudzakkar, sedangkan ittakhadzat yang menyimpan dhamir (kata ganti) mu’annats itu kembali ke dhamir  dalam lafadz al-‘ankabut yang mudzakkar. Seharusnya ittakhadza baita. Ahli bahasa tidak bisa memberesi persoalan ini. Justru yang menyelesaikan masalah ini adalah sarjana biologi yang melakukan penelitian tentang kehidupan laba-laba. Dia bediri dan memberikan informasi bahwa menurut hasil penelitiannya, seluruh laba-laba yang membuat sarang/rumah dengan desain yang teratur dan simetris seperti itu adalah berjenis kelamin betina. Karena benang laba-laba itu diproduksi dari rahimnya, dan hanya jenis kelamin betinalah yang mempunyai rahim. Maka benarlah Al-Qur’an, memasang bentuk mu’annats.

    Untuk itu, kita dihadapkan pada persoalan akademik lagi. Sekuat itu benang laba-laba, tapi mengapa Al-Qur’an menunjuk dengan bahasa awhanul-buyut (yang paling lemah)? Jawabannya adalah kelemahan atau al-awhan, itu merupakan tesis metaforik. Atau juga disebut bahasa sindiran, bahasa tamtsil. Orang yang mengambil Tuhan, bertuhan selain Allah itu seluruh logikanya lemah seperti lemahnya sarang laba-laba. Terkena hujan, rusak. Terkena sentuhan, rusak, dan lain-lain. Siapapun orangnya yang bertuhan selain Allah itu pasti logikanya tidak masuk akal.

    Terkait dengan Natal, sangat mudah sekali menggugurkan, menggagalkan, dan menyalahkan konsep teologi Nasrani atau Katolik tersebut. Jika Yesus atau Nabi Isa itu lahir pada masa itu, lalu diangkat menjadi Tuhan, persoalannya adalah umat-umat yang sudah hidup di dunia ini ratusan sampai ribuan tahun lalu itu bertuhan siapa? Mana ada Tuhan lahir belakangan setelah kehidupan dunia berjalan ribuan tahun. Yesus yang dianggap punya ayah, dianggap Tuhan ayahnya. Yesus juga punya Ibu, betul karena ibunya adalah Maryam. Nabi Isa juga punya kakek, punya nenek. Dengan begitu, persoalannya menjadi lebih runyam. Apakah seorang kakek, seorang nenek, harus menyembah cucunya sendiri yang menjadi Tuhan ? Karena lemahnya logika itulah, oleh Al-Qur’an disebut dengan awhanul-buyut. Mudah-mudahan dengan konfigurasi dan gambaran ini, keimanan kita semakin mantap dan makin memproyeksikan diri menggapai taqwa yang sangat berkualitas. Semoga bermanfaat.

    Dr. KH. A. Musta’in Syafi’i, Mudir PP Madrasatul Qur’aN Tebuireng

    Sudah tak heran dan sering kita dengar bahwa ikhtilat (percampuran laki-laki dan perempuan) menjadi salah satu problematika di Masyarakat terutama mengenai acara pengajian umum di tempat terbuka dan lainnya. Walau pun dikatakan haram, masyarakat kita masih banyak yang melakukannya dengan berbagai alasan. Fenomena tersebut pun muncul di kalangan lingkungan sekitar kita (terutama anak muda-mudi), ketika ada acara rapat tertentu dan acara tertentu seperti halnya Organisasi Daerah (ORDA), IPNU – IPPNU dan lainnya berkumpul dalam satu majlis. Begitu juga ketika mengadakan wisata religi, tampak jelas percampuran laki-laki dan perempuan dalam satu bus.

    Pertanyaan:

    A. Bagaimana batasan satu majlis dalam kasus ikhtilat

    B. Jika ikhtilat seperti itu diharamkan, siapa yang bertanggungjawab?

    jawaban:

    A. Batasan satu majlis dalam kasus ikhtilat adalah tidak menimbulkan terjadinya fitnah sebagai berikut

    Ketika duduk antara laki-laki dan perempuan tidak terlalu dekat.
    Tidak terjadi nya kholwah
    Tidak bersenda gurau berlebihan
    Tidak berpegang-pegangan.
    Memakai pakaian sesuai tatanan syari’at Islam (tidak memakai pakaian yang ketat dengan menonjolkan lekuk tubuhnya ) sehingga dapat menimbulkan syahwat.
    Referensi :

    Isadur- rofiqJuz 2 hal 67 
    Ianatut- thalibinJuz 1 hal 313 
    Mughnil-muhtajJuz 3 hal 407 
    Ianatut- thalibinJuz 1 hal 64 
    (ﺇﺳﻌﺎﺩ ﺍﻟﺮﻓﻴﻖ ﺍﻟﺠﺰﺀ ﺍﻟﺜﺎﻧﻰ (ج2/ﺹ: 67 

    ﺧﺎﺗﻤﺔ ﻣﻦ ﺃﻗﺒﺢ ﺍﻟﻤﺤﺮﻣﺎﺕ, ﻭﺍﺷﺪ ﺍﻟﻤﺤﻈﺮﺍﺕ ﺍﺧﺘﻼﻁ ﺍﻟﺮﺟﺎﻝ ﺑﺎﻟﻨﺴﺎﺀ ﻓﻰ ﺍﻟﻤﺠﻤﻮﻋﺎﺕ ﻟﻤﺎ ﻳﺘﺮﺗﺐ ﻋﻠﻰ ﺫﻟﻚ ﻣﻦ ﺍﻟﻤﻔﺎﺳﺪ ﻭﺍﻟﻔﺘﻦ ﺍﻟﻘﺎﺑﺤﺔ . ﻗﺎﻝ ﺳﻴﺪﻧﺎ ﺍﻟﺤﺪﺍﺩ ﻓﻰ ﺑﻌﺾ ﻣﻜﺎﺗﺒﺎﺗﻪ ﻟﺒﻌﺾ ﺍﻻﻣﺮﺍﺀ , ﻭﻣﺎ ﺫﻛﺮﺗﻢ ﻣﻦ ﺍﺟﺘﻤﺎﻉ ﺍﻟﻨﺴﺎﺀ ﻣﺘﺰﻳﻨﺎﺕ ﺑﻤﺤﻞ ﻗﺮﻳﺐ ﻣﻦ ﻣﺤﻞ ﺭﺟﺎﻝ ﻳﺠﺘﻤﻌﻮﻥ ﻓﻴﻪ ﻣﻨﺴﻮﺏ ﻟﺴﻴﺪﻧﺎ ﻋﻤﺮ ﺍﻟﻤﺤﻀﺎﺭ ﻓﺈﻥ ﺧﻴﻔﺖ ﻓﺘﻨﺔ ﺑﻨﺤﻮ ﺳﻤﺎﻉ ﺻﻮﺕ ﻓﻬﻮ ﻣﻦ ﺍﻟﻤﻨﻜﺮﺍﺕ ﺍﻟﺘﻰ ﻳﺠﺐ ﺍﻟﻨﻬﻲ ﻋﻨﻬﺎ ﻋﻠﻰ ﻭﻻﺓ ﺍﻻﻣﺮ ﻭﻳﺤﺴﻦ ﻣﻦ ﻏﻴﺮﻫﻢ ﺍﺫﺍﺧﺎﻑ ﻋﻠﻰ ﻧﻔﺴﻪ ﺍﻥ ﻳﺤﻀﺮﻫﻢ ﻟﻘﻮﻟﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﺍﻟﺼﻼﺓ ﻭﺍﻟﺴﻼﻡ ﻟﻤﺎ ﻭﺻﻒ ﺍﻟﻔﺘﻨﺔ ” ﻭﻋﻠﻴﻚ ﺑﺨﺎﺻﺔ ﻧﻔﺴﻚ ﻭﺩﻉ ﻋﻨﻚ ﺃﻣﺮ ﺍﻟﻌﺎﻣﺔ ” ﻭﻫﺬﺍ ﺍﻟﺰﻣﺎﻥ ﻭﺃﻫﻠﻪ ﻗﺪ ﺻﺎﺭ ﺍﻟﻰ ﻓﺴﺎﺩ ﻋﻈﻴﻢ ﻭﻓﺘﻦ ﻫﺎﺋﻠﺔ ﻭﺍﻏﺮﺍﺽ ﻋﻦ ﺍﻟﻠﻪ ﻭﺍﻟﺪﺍﺭ ﺍﻻﺧﺮﺓ ﻻ ﻳﻤﻜﻦ ﺍﻻﺣﺘﺮﺍﺯ ﻋﻨﻬﺎ ﺍﻫ 

    ﺇﻋﺎﻧﺔ ﺍﻟﻄﺎﻟﺒﻴﻦ ( -ﺝ 1 / ﺹ 313) 

    ﻭﻣﻨﻪ ﺍﻟﻮﻗﻮﻑ ﻟﻴﻠﺔ ﻋﺮﻓﺔ ﺃﻭ ﺍﻟﻤﺸﻌﺮ ﺍﻟﺤﺮﺍﻡ، ﻭﺍﻻﺟﺘﻤﺎﻉ ﻟﻴﺎﻟﻲ ﺍﻟﺨﺘﻮﻡ ﺁﺧﺮ ﺭﻣﻀﺎﻥ، ﻭﻧﺼﺐ ﺍﻟﻤﻨﺎﺑﺮ ﻭﺍﻟﺨﻄﺐ ﻋﻠﻴﻬﺎ، ﻓﻴﻜﺮﻩ ﻣﺎ ﻟﻢ ﻳﻜﻦ ﻓﻴﻪ ﺍﺧﺘﻼﻁ ﺍﻟﺮﺟﺎﻝ ﺑﺎﻟﻨﺴﺎﺀ ﺑﺄﻥ ﺗﺘﻀﺎﻡ ﺃﺟﺴﺎﻣﻬﻢ. ﻓﺈﻧﻪ ﺣﺮﺍﻡ ﻭﻓﺴﻖ. 

    ﻣﻐﻨﻲ ﺍﻟﻤﺨﺘﺎﺝ ( ﺝ3/ ﺹ407 )

    )ﺗﻨﺒﻴﻪ) ﻳﺠﻮﺯ ﻟﻠﺮﺟﻞ ﺍﻥ يخلو ﺑﺎﻣﺮﺃﺗﻴﻦ ﺍﺟﻨﺒﻴﻴﻦ ﺛﻴﻘﺘﻴﻦ ﻓﺄﻛﺜﺮ ﻛﻤﺎ ﻧﻘﻠﻪ ﺍﻟﺮﺍﻓﻌﻲ ﻋﻦ ﺍﻻﺻﺤﺎﺏ ﺍﻫـ 44 

    ﺇﻋﺎﻧﺔ ﺍﻟﻄﺎﻟﺒﻴﻦ – (ﺝ1 / ﺹ 64( با ﺠﻮﺭﻱ)ﺝ1/ﺹ72( 

    (ﻗﻮﻟﻪ ﻻﻧﺘﻔﺎﺀ ﺍﻟﺸﻬﻮﺓ )ﺍﻱ ﻻﻧﺘﻔﺎﺀ ﺍﻟﻤﺤﻞ ﺍﻟﺬﻱ ﻳﻈﻦ ﻓﻴﻪ ﻭﺟﻮﺩ ﺍﻟﺸﻬﻮﺓ ﻗﺎﻝ ﻓﻲ ﺍﻟﻘﺎﻣﻮﺱ ﻣﻈﻨﺔ ﺍﻟﺸﻴﺊ ﻣﻮﺿﻊ ﻳﻈﻦ ﻓﻴﻪ ﻭﺟﻮﺩ ﺍﻟﺸﻴﺊ

    الموسوعة الفقهية الكويتية (7/ 77)

    وَقَدْ جَعَل الشَّافِعِيُّ وَالأْصْحَابُ لِلأْمِّ مَدْخَلاً فِي وُجُوبِ التَّعْلِيمِ ؛ لِكَوْنِهِ مِنَ التَّرْبِيَةِ وَهِيَ وَاجِبَةٌ عَلَيْهَا كَالنَّفَقَة .وَمِنَ الْعُلُومِ غَيْرِ الشَّرْعِيَّةِ مَا يُعْتَبَرُ ضَرُورَةً بِالنِّسْبَةِ لِلأُْنْثَى كَطِبِّ النِّسَاءِ حَتَّى لاَ يَطَّلِعَ الرِّجَال عَلَى عَوْرَاتِ النِّسَاءِ . جَاءَ فِي الْفَتَاوَى الْهِنْدِيَّةِ : امْرَأَةٌ أَصَابَتْهَا قُرْحَةٌ فِي مَوْضِعٍ لاَ يَحِل لِلرَّجُل أَنْ يَنْظُرَ إِلَيْهِ ، لاَ يَحِل أَنْ يَنْظُرَ إِلَيْهَا ، لَكِنْ يُعَلِّمُ امْرَأَةً تُدَاوِيهَا ، فَإِنْ لَمْ يَجِدُوا امْرَأَةً تُدَاوِيهَا وَلاَ امْرَأَةً تَتَعَلَّمُ ذَلِكَ إِذَا عُلِّمَتْ ، وَخِيفَ عَلَيْهَا الْبَلاَءُ أَوِ الْوَجَعُ أَوِ الْهَلاَكُ فَإِنَّهُ يَسْتُرُ مِنْهَا كُل شَيْءٍ إِلاَّ مَوْضِعَ تِلْكَ الْقُرْحَةِ ، ثُمَّ يُدَاوِيهَا الرَّجُل ، وَيَغُضُّ بَصَرَهُ مَا اسْتَطَاعَ إِلاَّ عَنْ ذَلِكَ الْمَوْضِعِ . (

    وَإِذَنْ ، فَلاَ خِلاَفَ فِي مَشْرُوعِيَّةِ تَعْلِيمِ الأْنْثَى . لَكِنْ فِي الْحُدُودِ الَّتِي لاَ مُخَالَفَةَ فِيهَا لِلشَّرْعِ وَذَلِكَ مِنَ النَّوَاحِي الآْتِيَةِ :

    أ – أَنْ تَحْذَرَ الاِخْتِلاَطَ بِالشَّبَابِ فِي قَاعَاتِ الدَّرْسِ ، فَلاَ تَجْلِسِ الْمَرْأَةُ بِجَانِبِ الرَّجُل ، فَقَدْ جَعَل النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِلنِّسَاءِ يَوْمًا غَيْرَ يَوْمِ الرِّجَال يَعِظُهُنَّ فِيهِ . بَل حَتَّى فِي الْعِبَادَةِ لاَ يُخَالِطْنَ الرِّجَال ، بَل يَكُنْ فِي نَاحِيَةٍ مِنْهُمْ يَسْتَمِعْنَ إِلَى الْوَعْظِ وَيُؤَدِّينَ الصَّلاَةَ ، وَلاَ يَجِبُ اسْتِحْدَاثُ مَكَانٍ خَاصٍّ لِصَلاَتِهِنَّ ، أَوْ إِقَامَةِ حَاجِزٍ بَيْنَ صُفُوفِهِنَّ وَصُفُوفِ الرِّجَال .

    ب – أَنْ تَكُونَ مُحْتَشِمَةً غَيْرَ مُتَبَرِّجَةٍ بِزِينَتِهَا لِقَوْل اللَّهِ تَعَالَى : { وَلاَ يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلاَّ مَا ظَهَرَ مِنْهَا } (1) وَفِي اتِّبَاعِ ذَلِكَ مَا يَمْنَعُ مِنَ الْفِتْنَةِ وَمِنْ إِشَاعَةِ الْفَسَادِ.

    الموسوعة الفقهية الكويتية(2/ 289)

    التَّعْرِيفُ :

    الاِخْتِلاَطُ ضَمُّ الشَّيْءِ إِلَى الشَّيْءِ ، وَقَدْ يُمْكِنُ التَّمْيِيزُ بَيْنَهُمَا كَمَا فِي الْحَيَوَانَاتِ ، وَقَدْ لاَ يُمْكِنُ كَمَا فِي الْمَائِعَاتِ فَيَكُونُ مَزْجًا  . وَلاَ يَخْرُجُ اسْتِعْمَال الْفُقَهَاءِ لَهُ عَنْ هَذَا الْمَعْنَى .

    الاِمْتِزَاجُ هُوَ انْضِمَامُ شَيْءٍ إِلَى شَيْءٍ بِحَيْثُ لاَ يُمْكِنُ التَّمْيِيزُ بَيْنَهُمَا ، وَيَخْتَلِفُ عَنْهُ الاِخْتِلاَطُ بِأَنَّهُ أَعَمُّ ؛ لِشُمُولِهِ مَا يُمْكِنُ التَّمْيِيزُ فِيهِ وَمَا لاَ يُمْكِنُ 

    اخْتِلاَطُ الرِّجَال بِالنِّسَاءِ : يَخْتَلِفُ حُكْمُ اخْتِلاَطِ الرِّجَال بِالنِّسَاءِ بِحَسَبِ مُوَافَقَتِهِ لِقَوَاعِدِ الشَّرِيعَةِ أَوْ عَدَمِ مُوَافَقَتِهِ ، فَيَحْر

    الاِخْتِلاَطُ إِذَا كَانَ فِيهِ :

    أ – الْخَلْوَةُ بِالأَْجْنَبِيَّةِ ، وَالنَّظَرُ بِشَهْوَةٍ إِلَيْهَا .ب – تَبَذُّل الْمَرْأَةِ وَعَدَمُ احْتِشَامِهَا .ج – عَبَثٌ وَلَهْوٌ وَمُلاَمَسَةٌ لَلأَْبْدَانِ كَالاِخْتِلاَطِ فِي الأَْفْرَاحِ وَالْمَوَالِدِ وَالأَْعْيَادِ ، فَالاِخْتِلاَطُ الَّذِي يَكُونُ فِيهِ مِثْل هَذِهِ الأُْمُورِ حَرَامٌ ، لِمُخَالَفَتِهِ لِقَوَاعِدِ الشَّرِيعَةِ .قَال تَعَالَى : { قُل لِلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ } . . . { وَقُل لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ }

    B. Siapa yang bertanggung jawab?

    dilihat dari segi umum yang bertanggungjawab adalah pemimpin (waliyul Amri). Karena terjadinya kemaksiatan yang terdapat pada wilayahnya (dibawah kepengurusannya)
    dilihadarisegi khususnya adalah pihak yang mengadakan, jika mereka tahu (dzon) acara tersebut memungkinkan terjadinya kemungkaran dan fitnah.


    الفتاوى الفقهية الكبرى(1/ 199)

    وَسُئِلَ رضي اللَّهُ عنه أَنَّهُ قد كَثُرَ في هذه الْأَزْمِنَةِ خُرُوجُ النِّسَاءِ إلَى الْأَسْوَاقِ وَالْمَسَاجِدِ لِسَمَاعِ الْوَعْظِ وَلِلطَّوَافِ وَنَحْوِهِ في مَسْجِدِ مَكَّةَ على هَيْئَاتٍ غَرِيبَةٍ تَجْلِبُ إلَى الِافْتِتَانِ بِهِنَّ قَطْعًا وَذَلِكَ أَنَّهُنَّ يَتَزَيَّنَّ في خُرُوجِهِنَّ لِشَيْءٍ من ذلك بِأَقْصَى ما يُمْكِنُهُنَّ من أَنْوَاعِ الزِّينَةِ وَالْحُلِيِّ وَالْحُلَلِ كَالْخَلَاخِيلِ وَالْأَسْوِرَةِ وَالذَّهَبِ. (فأجاب) َ بِأَنَّ الْكَلَامَ على ذلك يَسْتَدْعِي طُولًا وَبَسْطًا لَا يَلِيقُ لَا بِتَصْنِيفٍ مُسْتَقِلٍّ

    في الْمَسْأَلَةِ وَحَاصِلُ مَذْهَبِنَا أَنَّ إمَامَ الْحَرَمَيْنِ نَقَلَ الْإِجْمَاعَ على جَوَازِ خُرُوجِ الْمَرْأَةِ سَافِرَةَ الْوَجْهِ وَعَلَى الرِّجَالِ غَضُّ الْبَصَرِ وَاعْتُرِضَ بِنَقْلِ الْقَاضِي عِيَاضٍ إجْمَاعَ الْعُلَمَاءِ على مَنْعِهَا من ذلك .

    وَأَجَابَ الْمُحَقِّقُونَ عن ذلك بِأَنَّهُ لَا تَعَارُضَ بين الْإِجْمَاعَيْنِ لِأَنَّ الْأَوَّلَ في جَوَازِ ذلك لها بِالنِّسْبَةِ إلَى ذَاتِهَا مع قَطْعِ النَّظَرِ عن الْغَيْرِ. ِ وَالثَّانِي بِالنِّسْبَةِ إلَى أَنَّهُ يَجُوزُ لِلْإِمَامِ وَنَحْوِهِ أو يَجِبُ عليه مَنْعُ النِّسَاءِ من ذلك خَشْيَةَ افْتِتَانِ الناس بِهِنَّ . وَبِذَلِكَ تَعْلَمُ أَنَّهُ يَجِبُ على من ذَكَرَ مَنْعَ النِّسَاءِ من الْخُرُوجِ مُطْلَقًا إذَا فَعَلْنَ شيئا مِمَّا ذُكِرَ في السُّؤَالِ مِمَّا يَجُرُّ إلَى الِافْتِتَانِ بِهِنَّ انْجِرَارًا قَوِيًّا . على أَنَّ ما ذَكَرَهُ الْإِمَامُ يَتَعَيَّنُ حَمْلُهُ على ما إذَا لم تَقْصِدْ كَشْفَهُ لِيُرَى أو لم تَعْلَمْ أَنَّ أَحَدًا يَرَاهُ أَمَّا إذَا كَشَفَتْهُ لِيُرَى فَيَحْرُمُ عليها ذلك لِأَنَّهَا قَصَدَتْ التَّسَبُّبَ في وُقُوعِ الْمَعْصِيَةِ



    )ﺇﺳﻌﺎﺩ ﺍﻟﺮﻓﻴﻖ ﺍﻟﺠﺰﺀ ﺍﻟﺜﺎﻧﻰ (ج2/ﺹ: 67 

    ﺧﺎﺗﻤﺔ ﻣﻦ ﺃﻗﺒﺢ ﺍﻟﻤﺤﺮﻣﺎﺕ, ﻭﺍﺷﺪ ﺍﻟﻤﺤﻈﺮﺍﺕ ﺍﺧﺘﻼﻁ ﺍﻟﺮﺟﺎﻝ ﺑﺎﻟﻨﺴﺎﺀ ﻓﻰ ﺍﻟﻤﺠﻤﻮﻋﺎﺕ ﻟﻤﺎ ﻳﺘﺮﺗﺐ ﻋﻠﻰ ﺫﻟﻚ ﻣﻦ ﺍﻟﻤﻔﺎﺳﺪ ﻭﺍﻟﻔﺘﻦ ﺍﻟﻘﺎﺑﺤﺔ . ﻗﺎﻝ ﺳﻴﺪﻧﺎ ﺍﻟﺤﺪﺍﺩ ﻓﻰ ﺑﻌﺾ ﻣﻜﺎﺗﺒﺎﺗﻪ ﻟﺒﻌﺾ ﺍﻻﻣﺮﺍﺀ , ﻭﻣﺎ ﺫﻛﺮﺗﻢ ﻣﻦ ﺍﺟﺘﻤﺎﻉ ﺍﻟﻨﺴﺎﺀ ﻣﺘﺰﻳﻨﺎﺕ ﺑﻤﺤﻞ ﻗﺮﻳﺐ ﻣﻦ ﻣﺤﻞ ﺭﺟﺎﻝ ﻳﺠﺘﻤﻌﻮﻥ ﻓﻴﻪ ﻣﻨﺴﻮﺏ ﻟﺴﻴﺪﻧﺎ ﻋﻤﺮ ﺍﻟﻤﺤﻀﺎﺭ ﻓﺈﻥ ﺧﻴﻔﺖ ﻓﺘﻨﺔ ﺑﻨﺤﻮ ﺳﻤﺎﻉ ﺻﻮﺕ ﻓﻬﻮ ﻣﻦ ﺍﻟﻤﻨﻜﺮﺍﺕ ﺍﻟﺘﻰ ﻳﺠﺐ ﺍﻟﻨﻬﻲ ﻋﻨﻬﺎ ﻋﻠﻰ ﻭﻻﺓ ﺍﻻﻣﺮ ﻭﻳﺤﺴﻦ ﻣﻦ ﻏﻴﺮﻫﻢ ﺍﺫﺍﺧﺎﻑ ﻋﻠﻰ ﻧﻔﺴﻪ ﺍﻥ ﻳﺤﻀﺮﻫﻢ ﻟﻘﻮﻟﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﺍﻟﺼﻼﺓ ﻭﺍﻟﺴﻼﻡ ﻟﻤﺎ ﻭﺻﻒ ﺍﻟﻔﺘﻨﺔ ” ﻭﻋﻠﻴﻚ ﺑﺨﺎﺻﺔ ﻧﻔﺴﻚ ﻭﺩﻉ ﻋﻨﻚ ﺃﻣﺮ ﺍﻟﻌﺎﻣﺔ ” ﻭﻫﺬﺍ ﺍﻟﺰﻣﺎﻥ ﻭﺃﻫﻠﻪ ﻗﺪ ﺻﺎﺭ ﺍﻟﻰ ﻓﺴﺎﺩ ﻋﻈﻴﻢ ﻭﻓﺘﻦ ﻫﺎﺋﻠﺔ ﻭﺍﻏﺮﺍﺽ ﻋﻦ ﺍﻟﻠﻪ ﻭﺍﻟﺪﺍﺭ ﺍﻻﺧﺮﺓ ﻻ ﻳﻤﻜﻦ ﺍﻻﺣﺘﺮﺍﺯ ﻋﻨﻬﺎ ﺍﻫ.

    والله أعلم بالصواب

    *Disampaikan dalam :

    Musyawarah Bulanan Se-Pesantren Tebuireng

    Forum Bahtsul Masa’il (FBM) 

    Ma’had ‘Aly Hasyim Asy’ari Tebuireng

    Kamis, 23 April 2015.


    Oleh: Hilmi Abdillah*

    “Banyak alumni lulusan dari sini sukses. Bukan karena mereka pandai atau cerdas, tapi semua itu karena barokah Yai,” kata Ustadz Utsman sambil melipat sebuah halaman kitab untuk menandai.

    Pondok ini mendadak ramai ketika seorang kiai kenamaannya dipanggil Sang Pencipta. Hari itu, langit siang terlihat mendung seperti mau menurunkan butir-butir air hujan. Para santri kebanyakan asik bersantai karena pengajian libur, hanya beberapa yang muthala’ah kitab. Tiba-tiba juga seorang tukang sapu bekerja membersihkan semua halaman pondok yang mestinya masih bersih.

    Tepat pukul empat sore, speaker masjid berkoar keras. “Inna lillahi wa inna ilaihi roji’un.” Seluruh santri kaget, mengucapkan lafal yang sama. Mereka kemudian bangun mengambil pakaian dan peci mereka yang menggantung. Menyambut jenazah Yai yang pulang dari rumah sakit.

    Sebelum berangkat ke masjid, Wabil mencatat kata-kata Kang Utsman dan mengingatnya dalam hati dan pikiran. Sore ini hujan turun begitu deras. Rupanya, air-air itu sedari tadi menunggu di atas sana, menyambut pula kedatangan Yai dari rumah sakit. Pakaian dan peci pun kini basah kuyup.

    Salah seoang santri ahli hikmah mengadahkan tangannya ke langit, lalu ia gerak-gerakkan tangannya ke arah Timur. Seolah ia menyuruh air-air itu pindah ke lain tempat. Mulutnya berbisik, “Allahumma hawalaina wa la alaina,” Sebuah doa yang berarti: Tuhan, kami sudah berkecukupan air.

    Jenazah Yai dikeluarkan dari ambulans dalam keadaan sudah kaku. Seember air kembang di pemandian sudah menunggunya. Pemandian yang hanya ditutup dengan bilik kain putih. Orang-orang yang sejak tadi menunggu di masjid tidak kebasahan air hujan, seperti Pak Takmir. Tapi, speaker masjid kemasukan air dan sekarang imam shalat jenazah harus mengeraskan suaranya.

    Setelah hujan reda, menangis seorang abdi dalem di teras rumah Yai. Wabil memperhatikannya sejenak, lalu melenggang. Kenapa ia menangis, padahal Yai dimakamkan dengan cepat. Tidak ada air yang menggenangi liang lahatnya walaupun hujan turun begitu lama. Orang-orang berbisik kalau itu bagian dari karomah Yai. Mungkin saja Yai adalah wali.

    Sebelum matahari tenggelam, makam telah sepi oleh pelayat. Kecuali seorang abdi dalem yang menangis di situ. Wabil tak menghiraukannya lagi. Sampai adzan maghrib berkumandang, abdi dalem itu tetap duduk di samping makam Yai.

    ***

    Setelah tujuh hari kematian Yai kegiatan pondok kembali berjalan normal. Yang berubah hanyalah isi dari ucapan wasilah yang bertambah satu orang. Wabil kembali mengaji, dan Ustadz Utsman kembali mengajar. Speaker masjid pun sudah dibetulkan.

    “Apa itu barokah?”, Wabil melempar pertanyaan kepada Ustadz Utsman.

    Dengan keilmuannya yang lumayan, Ustadz Utsman langsung menjawab, “Barokah hiya ziyadatul khoir. Barokah adalah peningkatan kebaikan.”

    “Seperti apa, Ustadz?”

    “Jika hari ini kau sedekah lima ratus rupiah, lalu besok kau sedekah seribu rupiah, berarti itu barokah. Jika hari ini kau membaca shalawat seratus kali, lalu besoknya dua ratus kali, berarti itu barokah. Tapi jika hari ini kau ghasab sandal sekali, lalu besoknya dua kali, itu bukan barokah.”

    “O, begitu. Lalu apa artinya barokah Yai?”

    “Barokah Yai maksudnya, bila kita mendapat barokah dari Yai, maka kita seolah mendapat tambahan kebaikan dari beliau.”

    “Kenapa itu bisa terjadi?”

    “Ya… karena Yai sayang kepada para santrinya.”

    “Apa semuanya?”

    “Ya, semuanya. Tak terkecuali.”

    “Andai saja ada santri yang nakal, sering melanggar aturan pondok, gak pernah ngaji, apakah dia akan mendapat barokah Yai?”

    “Tentu. Yai tetap memberikan barokahnya kepada seluruh santrinya, walaupun santri itu nakal”, Dari bau mulutnya, Ustadz Utsman seperti habis makan bakso.

    Wabil mengangguk seolah paham, walaupun sebenarnya ia masih punya pertanyaan panjang yang akan ia lempar lain waktu.

    Di hari berikutnya, seperti biasa, Wabil telah menunggu Ustadz Utsman di lantai dua masjid usai maghrib. Mudzakaroh baru akan dimulai ketika Ustadz Utsman datang dan membuka kitab kuningnya. Pelajaran baru sampai di bab shalat witir.

    “Ustadz, sebenarnya, barokah Yai itu diberikan oleh Yai atau oleh Allah? Apakah Yai bisa mengatur barokah itu sendiri?”

    Ustadz Utsman tidak menjawab. “Seharusnya barokah itu bukan untuk semua santri, tapi sebagian,” lanjut Wabil.

    Akhirnya Ustadz Utsman menjawab, “Barokah itu tidak dapat dilihat. Tapi sebagai santri pondok, kita harus percaya itu. Setelah saya pikir-pikir lagi, ternyata benar juga pendapatmu. Barokah itu mungkin buat sebagian santri saja.”

    “Lalu, jika Ustadz sudah setuju, bagaimana caranya menjadi orang yang mendapat jatah barokah itu?”

    Ustadz Utsman terdiam lagi. Sepertinya ia hanya paham soal definisi barokah, tapi tidak memahami artinya secara mendalam. “Saya belum bisa menjawab. Maaf, kita lanjutkan saja baca kitabnya.”

    Di pertengahan bacaan kitab, Wabil melihat seorang santri yang ribut di halaqoh lain. Ia tidak memperhatikan ustadznya yang sedang menerangkan. Wabil memotong, “Akankah barokah diperuntukkan buat santri seperti itu, Ustadz?”

    Ustadz Utsman yang sedari kemarin Wabil tanyai tentang barokah sepertinya sudah geregetan. “Wabil, aku pikir kau masih punya banyak pertanyaan tentang barokah. Aku tak bisa menjawab semuanya. Sebaiknya kau tujukan saja kepada Ustadz Umar.”

    Satu jam sebelum tengah malam, Wabil bertemu dengan Ustadz Umar di persimpangan jalan. Sepertinya beliau sedang buru-buru, gumam Wabil. “Ustadz, barokah itu diberikan oleh Yai atau Allah?”.  Dia tetap berjalan cepat. Wabil hampir meraih tangannya.

    Nampaknya Ustadz Umar tidak kebingungan dengan pertanyaan yang tiba-tibamelucut dari mulut Wabil itu. Ia pun akhirnya memelankan langkah. “Barokah itu seperti jodoh. Sama halnya dengan hidayah. Dan jodoh pasti bertemu.”

    “Lalu, bagaimana caranya menemukan jodohku, Ustadz?”

    “Jodoh itu kan takdir.”

    Wabil dan Ustadz Umar akhirnya duduk di serambi masjid paling Selatan. Di sana agak gelap, dekat dengan tempat wudhu dan jemuran-jemuran santri.

    “Takdir kan juga bisa diusahakan?”, wabil belum puas.

    “Ya, kau harus rajin belajar, rajin mengaji, tidak usah melanggar aturan pondok. Itulah yang akan mendekatkanmu dengan barokah.”

    “Semudah itu?”

    Ustadz Umar mengangguk yakin. “Lalu kenapa banyak alumni yang tidak pintar dan dulunya nakal, kemudian menjadi sukses? Bukankah itu karena barokah?”

    Ustadz Umar mengangguk kedua kalinya. “Ada yang perlu kau ketahui. Banyak jalan menuju barokah. Yang aku sebutkan tadi hanyalah salah satunya. dan itu cara paling gampang. Mungkin saja alumni yang waktu mondoknya bodoh, nakal, suka ngelanggar itu sangat ta’dhim kepada Yai. Saking ta’dhim-nya, ia mendapat pancaran barokah dari Yai.”

    Kini giliran Wabil yang mengangguk. “Umm… kalo begitu, barokah itu dari Yai atau dari Allah?”

    “Hakikatnya yang mengatur semuanya adalah Allah. Yai tidak menentukan kau yang akan dapat barokah atau aku. Namun, kebaikan Yai yang seperti samudera itulah yang membuat santrinya mendapat tambahan kebaikan. Seperti gelas yang berlebihan air, lalu airnya tumpah ke tempat yang tidak pernah ditentukan gelas itu.”

    Ustadz Umar mengangkat pinggulnya dari tempat duduk. Sebelum ia berdiri penuh, Wabil menahannya dengan sebuah pertanyaan, “Terakhir, Ustadz! Kalau Yai sudah meninggal, apakah beliau masih bisa barokahi?”

    “Tentu,” jawab Ustadz Umar singkat.

    “Sampai kapan?”

    “Sampai kapan pun. Kita takkan pernah tahu.”

    “Iya, kita tak mungkin tahu. Maksudku, apakah barokah Yai akan habis pada suatu waktu?”

    Ustadz Umar berhenti sejenak. Berpikir. Lalu melanjutkan, “Bagiku, barokah itu tidak akan pernah habis. Ia akan terus memancar. Walaupun Nabi Muhammad sudah meninggal ribuan tahun yang lalu, mungkin saja kau bisa menerima barokahnya. Coba, bila kamu punya api, dan seribu orang datang membawa lilin, menempelkan ujung lilin mereka ke apimu. Apakah apimu akan berkurang? Tidak. Dua ribu lilin? Tidak. Sejuta lilin? Tetap saja. Apimu tetap saja segitu.”

    “O, begitu. Jadi sampai hari kiamat pun akan tetap ada orang sukses lulusan pondok ini?”

    “Belum tentu. Pada suatu waktu barokah akan berhenti.”

    Dahi Wabil mengernyit. “Lho katanya tadi?”

    “Aku bilang barokah akan berhenti, bukan habis.”

    “Kapan itu?”

    “Ketika tidak ada orang yang pantas diberi barokah.”

    ***

    Wabil bangun dari bantal yang amat keras. Ia temui sebuah pancaran cahaya dari makam Yai yang selalu harum bunga. Pundaknya kini telah kosong dari beban. Semua pertanyaannya tentang barokah telah dijawab Ustadz Umar semalam.

    “Barokah itu bukan untuk santri ahli hikmah yang bisa mengalihkan hujan. Bukan untuk si tukang sapu yang bersih-bersih saat halaman pondok masih bersih. Bukan untuk abdi dalem yang menangisi Yai sampai di pusara kuburnya. Apalagi untuk santri malas yang ribut saat halaqoh.”

    “Lalu buat siapa?”

    “Buat orang-orang yang pantas.”

     

    *Mahasiswa Ma’had Aly Hasyim Asy’ari Tebuireng, aktif di Komunitas Penulis Muda Tebuireng, Sanggar Kepoedang, dan cerpenis muda Tebuireng


    UNTUK OR-TU YG ANAKNYA MONDOK DI PESANTREN
    Pesan KH Hasan Abdullah Sahal (pimpinan skaligus pengasuh PMDG) untuk Orang Tua Santri.
    "Kalo mau punya anak bermental kuat, orang tua-nya harus lebih kuat, punya anak itu jangan hanya sekedar sholeh tapi juga bermanfaat untuk umat, orang tua harus berjuang lebih..ikhlas.. ikhlas.. ikhlas..
    Anak-anak mu di pondok pesantren gak akan mati karena kelaparan, gak akan bodoh karena gak ikut les ini dan itu, gak akan terbelakang karena gak pegang "gadget".
    Insya Allah Anakmu akan dijaga langsung oleh Allah karena sebagaimana janji Allah yang akan menjaga Alqur'an..yakin.. yakin..harus yakin..
    Lebih baik kamu menangis karena berpisah sementara dengan anakmu, karena menuntut ilmu agama dari pada kamu nanti "yen wes tuwo nangis karena anak-anak mu lalai urusan akhirat.. kakean mikir ndunyo, rebutan bondo, pamer rupo..lali surgo.." (kalo sdh tua menangis krn anak2 kamu lalai thdp urusan akhirat....kebanyakan memikirkan urusan dunia, berebut harta, pamer rupa wajah...lupa surga)





Top