Tabligh Maulid Akbar di Pesantren Tebuireng Jombang bersama Majlis Shalawat Riyadlul Jannah Malang

    Pawai Drum Band dan Kreasi Siswa SMP A. Wahid Hasyim Tebuireng










    sumber : FB ; Waka Kesiswaan SMP A. Wahid Hasyim Tebuireng

    ,

    Atap Rumah Salah Satu Karyawan Yaitu Bapak Zarqoni Widodo di SMA Trensains Tebuireng Terhempas oleh angin Ribut akibat Hujan 

    Hujan yang melanda daerah JOmbok dan sekitarnya, termasuk lokasi di rumah salah satu karyawan SMA Trensains Tebuireng Jombang yang terletak di batan blaru badas kediri, mengakibatkan atap rumah yang terbuat dari asbes itu rontok. 

    Setidaknya ada sekitar 6 buah papan asbes ukuran 80 cm x 2 meter itu hancur tertiup angin. tetapi tidak sampai menimbulkan korban jiwa. selain itu, pohon keres yang terdapat di depan rumah juga ikut tumbang.

    Hujan yang melanda daerah jombok dan sekitarnya ini sangat deras sekali, selain hujan yang lebat, angin berhembus kencang juga menyertai hujan yang turun sekitar 2 jam tersebut.

    Tadi siang, para pimpinan SMA Trensains Tebuireng melakukan sidak langsung ke rumah yang terkena musibah, dengan harapan bisa membantu mencarikan solusi atas musibah yang menimpa ini. 

    berikut sebagian dokumentasi atas kejadian yang melanda salah satu karyawan tersebut.








    untuk mengetahui kondisi terkini, silahkan klik videonya di sini :












    Itu cuma warung makan di depan masjid. Warung makan kecil yang tak berpintu. Hanya bermodal meja dan kursi panjang. Lebih mirip dengan kios di pasar. Tapi kau tahu, jika penjualnya bicara, semua pembelinya akan terdiam menghayati kata-kata yang mengalir dari mulutnya.
    Bisa dibilang itu adalah warung favorit para santri Pondok Jagalan. Penjualnya adalah wanita yang umurnya melebihi lima puluh, namun tubuhnya sangat energik. Santri-santri menyebutnya Mak Tami. Warung ini juga dekat dengan Kali Gelis yang membelah antara Jombang Barat dan Jombang Timur.
    Menu-menu yang disajikan beragam, dan keseluruhannya tradisional. Nasi pecel, nasi lodeh, nasi campur, mendoan, rujak, pisang goreng, dan sejenisnya. Kenapa bisa menjadi langganan para santri?
    “Kenyang dan murah,” kata Kang Arip yang telah mondok lima tahun.
    Memang mendoan di manapun berada berharga lima ratus perak. Tetapi, mendoan Mak Tami adalah mendoan jumbo yang lebih besar dari umumnya.
    Aku juga sering ke warung itu, bersama dengan teman-teman santri akrab berjalan sekitar tiga ratus meter dari Pondok Jagalan. Tak ada yang istimewa selain porsi yang melebihi warung lain. Harganya pun sama.Hanya saja, dalam menyajikan minuman, Mak Tami tidak terlalu ahli. Setiap kali ia menuangkan teh panas ke dalam gelas, selalu saja ada yang jatuh ke meja, membuat meja tampak becek. Gula-gula yang beralih dari toplesnya pun banyak tercecer seolah ia bukan penyaji minuman yang ahli.
    Mak Tami hanya menyerahkan senyumnya pada anak kecil, bisa dibilang cuek, dan mudah marah. Orangnya pendek, lumayan kurus, dan rambutnya yang perlahan memutih terikat dengan gelang karet yang biasanya digunakan sebagai pengikat bungkus nasi.
    Lebih tepatnya warung ini berada di depan masjid Kaujon, setelah menyeberang jalan kecil, jalan desa. Mak Tami berjualan hanya pada siang hari. Ia menata dagangannya sekitar jam satu usai dhuhur dan mungkin akan habis sebelum matahari tertelan ufuk barat. Tidak ada warung lain di dekat warung Mak Tami. Kalaupun ada, itu sudah berjarak lebih dari lima puluh meter. Yang ada cuma jasa pemarutan kelapa yang kadang buka, kadang tutup. Dan di sampingnya lagi sebuah bengkel yang terlalu sering sepi karena letaknya yang tidak strategis. Di samping masjid, berjajar pula kios-kios penjual barang mentah, minyak tanah, beras, dan juga bahan-bahan konveksi.
    Karena terletak di pinggiran kota, pepohonan tumbuh sangat jarang. Hanya tanaman-tanaman dan bunga-bunga dalam pot. Selebihnya rumput yang tumbuh secara liar dan ganas. Di belakang masjid, tumbuh pohon matoa yang lumayan banyak. Namun aku hanya bisa memandangnya ketika pohon itu berbuah dan buahnya masak.
    Jika ditanya pondok mana yang paling dekat dengan masjid Kaujon, jawabannya adalah Pondok Jagalan. Pondok di mana aku berada, mengisi waktu dan hari dengan mengaji dan menuntut ilmu agama. Pondok ini ramai. Walaupun jumlah santrinya hanya berkisar 300-an, tetapi tidak sebanding dengan luas pondok yang ada.
    Suatu hari, sekolahku mengadakan seminar motivasi dengan menghadirkan motivator nasional dari Jakarta. Seminar itu dihadiri oleh ribuan peserta dari Jombang maupun luar Jombang. Aku sangat tercengang sekali. Seumur hidup aku di pondok hanya berkelut dengan selimut kotor, kitab-kitab kuno, dan wajah kusam sahabat karibku. Tak pernah aku merasakan duduk di kursi seminar yang dibelongsong dengan kain mewah. Saat hendak duduk, aku harus berhati-hati jangan sampai kain itu kusut dan terlipat.
    Acara ini digelar atas kerja sama antara sekolahku sebagai panitia penyelenggara dan sebuah lembaga di Jakarta sebagai penyokong dana. “Menurut Winston Chuchill, keberhasilan adalah kemampuan untuk melewati dan mengatasi dari satu kegagalan ke kegagalan berikutnya tanpa kehilangan semangat,” tutur Sang Motivator.
    Aku manggut-manggut. Aku pikir semua temanku yang datang juga terkejut. “Oh, ternyata selama ini kita tak tahu apa-apa. Kita hidup di pondok pesantren dan tidak melihat kenyataan hidup yang terang benderang seperti ini.”
    Sang Motivator itu pun melanjutkan dengan kutipan orang lain, “Seorang yang sukses adalah dia yang bisa meletakkan pondasi kokoh dengan menggunakan batu bata yang dilemparkan orang lain kepadanya, kata David Brinkley.”
    Dalam sesi tanya-jawab, seseorang mengacungkan tangan dan menerima microphone, lalu bertanya dengan penuh semangat, “Bapak, mengapa Bapak sangat mendorong orang-orang untuk meraih kesuksesan dan keberhasilan, padahal Albert Einstein pernah bilang, ‘Try not to become a man of success, but rather try to become a man of value.’ Cobalah untuk tidak menjadi orang yang sukses, melainkan orang yang bernilai. Dan kata-kata ini juga senada dengan perkataan Ranchodas SC dalam film 3 Idiots. ‘Jangan bermimpi menjadi orang sukses. Bermimpilah menjadi orang besar, maka sukses akan mengikutimu.’ Bagaimana Bapak menanggapi ini? Terima kasih,” pungkas si penanya.
    Sebelum pertanyaan itu terjawab, ada sesuatu yang mengganjal dalam isi kepalaku. Aku segera bangkit dari kursi dan tak mempedulikan lipatan-lipatan yang ada di belongsongnya. Aku keluar tanpa tanda tanya dari Kang Arip yang tadi di sebelahku. Setelah melewati ribuan kursi, akhirnya aku sampai di pintu keluar. Aku tak merasakan udara buatan AC lagi.
    Beberapa resepsionis memandangiku dengan tatapan aneh. Mereka mengira aku mencari toilet, atau minta tambahan snack. Tapi aku lebih memilih beranjak ke bawah pohon yang tumbuh melengkung di depan gedung penyelenggaraan itu. Aku pun tak mengenali pohon apa itu. Setelah pantatku menyentuh rerumputan, aku menemukan apa yang sedari tadi mengganjal di dalam isi kepalaku. Oh, itu sebuah pertanyaan.
    “Kenapa setiap orang yang ada di gedung itu mengutip kata-kata orang lain?”
    ***
    “Kau tahu Winston Chuchill?” tanya Kang Arip pada Mahmudi yang sedang khusyuk menelaah kitab Safinatun Naja.
    Mahmudi menaikkan kedua alisnya, pertanda ia tak tahu apa yang Kang Arip katakan. Menyebut nama itu pun susahnya bukan main, lebih susah daripada mengucapkan makharijul huruf. Mahmudi menggeleng kepala. “Siapa?”
    “Winston Chuchill, tokoh terkenal internasional…” Kang Arip mengadahkan dagunya. “Tidak tahu kan? Kalo Albert Einstein? Pasti tidak tahu! Apalagi David Brinkley.”
    Mahmudi mengalihkan pandangannya dari kitab yang sedang ia baca. “Kalau Imam Bukhori saya tahu, Kang. Namanya Muhammad bin Ismail, lahir di Bukhara tahun 810 Masehi. Tapi kalau nama yang Anda sebutkan tadi saya gak kenal sama sekali.”
    “Winston Chucill, Albert Einstein, David Brinkley,” Kang Arip mengulangi lagi. “Coba sebutkan!”
    “Gak bisa, ah!”
    Kang Arip berseloroh. “Hahaha… makanya ikut seminar kemarin, jangan ngaji kitab gituan terus. Kapan kita bisa maju? Buktinya, kamu ndeso, kan?”
    Mahmudi kehabisan kalimat. Kami masih melingkar berempat.
    “Kang Arip, ikut aku yuk,” ajak Kang Qorib, teman sekamarku selain Mahmudi dan Kang Arip.
    “Kemana?”
    “Ke tempat di mana kita akan memborong banyak kutipan.”
    “Di mana itu?”
    “Warnet.”
    “Warnet? Haram. Itu pelanggaran,” tolak Kang Arip.
    “Tidak masalah, cuma sekali-kali, yang penting kita bisa mendapatkan kata-kata dari orang terkenal yang tingkatnya sudah internasional.”
    Setelah dibujuk berapa lama, akhirnya Kang Arip mengikuti ajakan Kang Qorib. Mereka berdua berangkat dengan pakaian ala santri, mengendap-endap seperti tahanan lapas yang mau melarikan diri.
    Sedangkan aku dan Mahmudi pergi ke warung Mak Tami dua jam setelah matahari tergelincir. Di warung itu, aku memesan nasi pecel, sedangkan Mahmudi memesan menu yang sama. Kebiasaan kami minum air putih dari teko yang telah disediakan.
    Di tengah suap nasi pecel, datang seorang ibu membawa anaknya yang baru pulang dari sekolah. Ibu itu berniat membeli lauk yang akan dimakan di rumah. Sehabis ibu itu memesan dan membayar, Mak Tami memasukkan dua mendoan ke dalam plastik bersama dengan pesanan ibu itu secara gratis. “Ini buat adek,” kata Mak Tami dengan senyumnya. “Sekolah yang rajin, ya.”
    Mak Tami memang terkadang begitu, memberikan gratisan kepada pelanggan. Apalagi kalau azan maghrib sudah terdengar, semua dagangannya akan digratiskan kepada santri yang datang.
    “Sekarang kecipir susah nyarinya di pasar,” kata Mak Tami tiba-tiba. “Jadi pecelnya ya tidak ada kecipirnya.”
    Aku baru menyadari kalau nasi pecel yang aku makan memang tidak ada sayuran merambat itu. Tapi aku rasa, kenikmatannya sama saja. Karena inti dari sebuah hidangan nasi pecel adalah sayur-sayuran dan bumbu kacang. Biasanya kangkung, bayam, kacang panjang, tauge, dan kol. Tapi setiap kabupaten memiliki pecelnya sendiri-sendiri.
    “Tidak apa-apa, Mak,” balasku. “Rasanya sama saja.” Kini yang sedang duduk di warung ini hanya aku, Mahmudi, dan Mak Tami saja. Karena jam ramai telah berlalu tadi.
    “Kecipir itu aslinya enak, mirip dengan bengkuang. Warnanya hijau, bentuknya panjang, rela dipotong-potong demi untuk dibuat nasi pecel. Bila belimbing memiliki lima sudut, kecipir memiliki empat sudut. Lima atau empat sama saja bagusnya.”
    “Kalau yang lain, Mak? Apa masih gampang nyarinya?”
    “Kalau gampang sih gampang! Harganya itu lho, kian hari kian melonjak, walaupun dua ratus rupiah. Jadi nasi pecel itu ibarat seorang anak yang diperjuangkan oleh orang banyak, seperti kalian. Nasi pecel itu tidak cuma dibuat dari satu bahan saja, tapi racikan dari beberapa sayuran dan bumbu. Kalian juga seperti itu, diperjuangkan oleh orangtua kalian, oleh saudara kalian, teman kalian sekamar, dan oleh Mbah Yai.”
    Aku mengangguk mendengar kata-kata Mak Tami, sekaligus tertegun sadar bahwa diriku kini diperjuangkan. “Kalau nasi campur, Mak?”
    “Nasi campur juga kumpulan dari beberapa bahan, mie, kering, tahu. Tapi bahan-bahannya tidak alami. Sedangkan nasi pecel alami, tanpa adanya proses sebelumnya selain cuma digodok dan diulek.”
    “Hubungannya sama kita apa Mak? Ada gak?”
    “Oh, ada. Itu menjadi sebuah pesan. Kalian harus menjadi alami, jangan sampai kalian dipengaruhi oleh hal-hal asing. Pemikiran kalian harus tetap berpijak pada kitab-kitab para ulama, kitabnya anak pondok. Jangan kagum dengan pemikiran-pemikiran orang Barat yang sesat. Apalagi perilaku mereka yang serba maksiat. Berpakaian saja tidak benar. Hi… aku malah risih.”
    “O, begitu ya, Mak. Kalau mengikuti seminar boleh apa tidak?”
    “Seminar? Ya boleh-boleh saja. Itu malah perlu. Tapi ingat, kita harus punya misi. Jangan sampai kita terbawa arus, kitalah yang harus membuat arus.”
    Tak terasa nasi di piringku sudah habis. Setelah aku meneguk segelas air putih, aku dan Mahmudi langsung membayar. Kami berjalan melewati Masjid Kaujon yang telah menabuh bedug ashar.
    Aku berkata pada Mahmudi bahwa kebanyakan mengutip kata-kata orang terkenal tidaklah baik. Percapakan dengan Mak Tami tadi hanyalah percakapan singkat. Dan aku yakin, Mak Tami yang kerjanya jualan nasi pecel itu lebih kolot dari kami semua. Tapi dia tetap mempertahankan kekolotan itu, karena kemodernan tidak bisa membuat ia menjadi lebih baik.
    “Itu tadi cuma percakapan singkat. Sejak perkataannya kepada anak SD tadi ‘sekolah yang rajin ya’ sudah membuat hatiku berubah. Itu adalah sebuah kutipan. Kutipan yang biasa dipakai banyak orangtua, walaupun tidak keluar dari mulut internasional. Kalimat itu sudah menjadi penyemangat disertai dua buah mendoan.”
    “Kalau begitu, kini saatnya kata-kata kita dikutip,” kata Mahmudi.

    *) Penulis adalah Hilmi Abdillah, aktif di Sanggar Kepoedang (Komunitas Penulis Muda Tebuireng) Pesantren Tebuireng Jombang.Cerpen ini pernah dimuat di Radar Mojokerto (Jawa Pos Group) pada minggu (14/05/15)

    Nyaris dua tahun sudah aku mengecap ilmu di negeri para nabi, betapa kewibawaan Al-Azhar yang berdiri seribu tahun yang lalu pada Dinasti Fatimiyah masih tetap gagah dengan bangunan yang megah serta ulama yang ikhlas dan sabar tak terhingga dalam menularkan ilmu agama sehingga tersebarlah para penerusnya ke berbagai belahan dunia, maka pantaslah Al- Azhar di sebut sebagai ka’batul ‘ilm (pusatnya ilmu agama).

    Hari semakin siang, setelah menghadiri majlis talaqqi di masjid Al-Azhar. Terik matahari yang semakin menyengat mencucurkan keringatku, asap kendaraan bermotor mengerutkan keningku menambah semangatku mempercepat langkahku ke halte busdarrosah(kawasan) perkuliahan mahasiswa.

    Hampir tiga puluh menit aku menunggu bis angkutan umum berwarna merah “80/”(delapan puluh coret). Tapi aku putuskan untuk naik tramco untuk menghemat waktu. Setelah tramco penuh, sang sopir pun menjalankan mobil yang membawa kami. Di tengah perjalanan, tepatnya di nadi syurthah masih dekat dengan bu’uts(asrama putra mahasiswa Al-Azhar yang mendapat beasiswa dari Al-Azhar) aku melihat kejadian yang cukup unik dan menggelitik perut, aku pikir ini hanya terjadi disini dan tidak akan pernah aku lihat di Indonesia. Memang di Mesir ini banyak sekali hal-hal unik dan lucu yang belum pernah aku saksikan di negeriku sendiri. Saat itu sang sopir tramco menghentikan mobilnya di tengah jalan. Ia yang ketika itu sedang minum syaai sambil mengemudikan mobilnya, memberikan teh yang sempat ia nikmati kepada rekannya sesama sopir tramco yang juga berhenti tepat di sebelah tramco yang aku naiki. Padahal saat itu di belakang kami dan dibelakang tramco yang dikemudikan oleh kawan sopir tramco tadi terdapat beberapa mobil yang ingin melewati jalan tersebut. Jadilah mereka harus menuggu beberapa saat karena ulah kedua sopir tramco tersebut. Lucu dan menggelikan sekali kejadian tersebut. Masak sempat-sempatnya minum teh berdua di tengah jalan ketika sedang mengendarai mobil. Aku pun hanya bisa tersenyum kecut melihat hal itu. Di satu sisi aku melihat adanya hal positif dari kejadian itu, keinginan untuk saling berbagi dengan sesama. Di sisi lain, aku melihat kurang tepatnya si sopir untuk menempatkan sesuatu yang baik pada tempatnya. Berbagi itu baik dan indah namun kalau berbaginya dengan cara yang seperti itu, tidak bisa dibenarkan secara etika dan logika.

    “Ayyuwah ‘ala ganbik ya asytho, niziil gaami’ ”dengan lantang kutirukan lahjah orang mesir memberitahu sopir agar diturunkan  digami’ hay ‘asyir, kawasan yang sebagian besar di huni para mahasiswa Asia khususnya Indonesia.

    Sekilas kusapu pandangan ke sekeliling kompleks gami’ kutarik napas dalam-dalam membiarkan penat hilang bersama hembusan nafas. Seketika perutku berdendang, tanpa pikir panjang aku langsung tancap ke syabrowi, restoran khas makanan Mesir. Sambil menenteng tha’miyyah bil bet, dinamit , dan tho’miyyah bil baadzinjaan aku teringat perkataan salah seorang seniorku, “Ibarat bendera Mesir, Merah menunjukkan perjuangan yang takkan pernah habisnya, Putih di nisbatkan kepada Nabi Musa yang perilakunya mulia, Hitam melambangkan kegelapan yang dikiblatkan ke Fir’aun, buruk lagi congkak tak terhingga”.

    Adzan Dzuhur sudah berkumandang, kulewati jalan swessry. Langkahku tertahan memandang di luar sudut Masjid Jami’ Ar-Rohman, berjejer penjual qibdah(roti isi hati sapi), di samping kanannya duduk nenek berjubah yang di depannya tersedia dua rak ‘isy(roti dari gandum).

    Nenek itu tersenyum ramah melihatku menghampirinya, “sepertinya dia sudah  sering melihatku mondar mandir di jalan swessry” sangkaku. Memang kontrakanku tepat di belakang Masjid Jami’ Ar-Rohman. Rasa penasaranku semakin menjadi, kurogoh plastik bertuliskan syabrowi, “Ittafadholli ya mamah” sapaku sambil menyodorkan tho’miyyah. Mamahpun menerimanya dengan senang hati.

    Agak rikuh untuk langsung bertanya, namun kupaksakan demi rasa penasaranku untuk mengobrol dengan mamah. Ada batu agak besar di samping jualan mamah, ku duduk sembari meletakkan ransel di pahaku. Penjual qibdah nongol dari gerobak qibdahnya “enta min siin?” tegurnya sambil memutar tutup tabung gas berwarna biru di sampingku. “La ah, ana anduniisi” sahutku. Masak kulitku yang berwana sawo matang ini dibilang orang Cina. Mamah hanya tersenyum mendengar kami berdua saling menyahut.

    Selama ini jika orang Mesir bertanya masalah asal, tak jarang orang Mesir langsung selonong dengan pertanyaan,”apakah kamu berasal dari Cina atau tidak?”. Semua orang Asia dikira orang Cina. Entahlah, mungkin mereka buta warna dan bentuk wajah untuk membedakan antara orang Cina dan Indonesia.

    Kumulai obrolanku menggunakan bahasa ‘ammiyyah , “Nama mamah siapa ?” .

    “Nama saya? Panggil saja Ummu Isma’il” sahutnya dengan lirih dan senyum khasnya, mungkin sebab gigi mamah banyak yang tanggal. Terlihat guratan perjuangan kehidupan di wajahnya, rambut yang berselang-seling putih dan hitam, menarik diriku ingin tahu lebih dalam.

    “Nama asli mamah siapa? Kenapa di panggil Ummu Isma’il” responku lebih dalam. “Apakah harus ya di sebutkan nama asli saya?  Isma’il itu nama anak saya yang pertama sekarang umur enam belas tahun, juga ada dua orang anak perempuan juga di rumah”, jelas si mamah.

    Kuberanikan bertanya lebih dalam lagi, “kenapa mamah disini setiap hari menju’al ‘isy disini? Kemana suami mamah?” seketika itu juga mamah memandang lurus kedepan dengan pandangan kosong

    “Suami saya juga penjual ‘isy juga”, saat kami ingin melanjutkan obrolan datang pembeli memanggil nama Ummu Isma’il seperti sudah tidak asing lagi dengan nama itu.

    “Maaf nak, tadi mamah tinggal sebentar, semenjak enam tahun ditinggal suami, saya meneruskan usaha suami saya. Suami saya dulu terkena penyakit diabetes sehingga kedua kakinya di amputasi di rumah sakit, tapi saya tidak memutuskan semangatnya selalu berjualan ‘isy disini” sambil menunjuk ‘affas(sangkar dari kayu yang ia jadikan tempat duduk). Sontak aku tercenung. Kemudian kusahut dengan do’a “Allahummaghfirlahu Warhamhu Wa ‘aafihi Wa’fu ‘anhu”

    “Aamiin Ya Rabb… Aamiin” mamah menjawab dengan penuh khusyu’ dengan mencium perut dan punggung tangan kanannya kemudian menangadahkan tangannya ke atas langit.

    ‘Isy atau roti yang terbuat dari gandum merupakan makanan pokok orang Mesir, di sebut ‘isy karena kata ‘isy berasal dari kata‘aasya- ya’issyu yang bermakna kehidupan. Begitu juga kata mamah “ni’matul ma’isy bi akli ‘isy”(kenikmatan hidup di rasakan dengan memakan ‘isy). Aku mengangguk mengamini perkataan mama, walaupun dalam hati sebenarnya aku lebih suka nasi di bandingkan‘isy.

    Dalam proses pembuatannya, konon sebelum membuat ‘isy, para tukang ‘isy salat dua raka’at terlebih dahulu, dengan harapan ‘isyakan memberikan keberkahan bagi penduduk Mesir.

    “Suami saya Abu Isma’il wafat ketika selesai Shalat ‘Asar” dengan bangga dan bercampur haru mamah mencurahkan isi hatinya kepadaku.

    “Apakah mamah tidak dapat biaya santunan dari Negara?” tanyaku.

    “Demi Allah, bekerja dari keringat sendiri lebih baik dan berkah di bandingkan mendapat santunan, saya melarang diri saya untuk menerimanya” dengan santun mamah mengimbuhkan. Mamah yang berumur lebih dari enam puluh tahun ini tetap baik hati dan ramah melayani pelanggan walaupun kaki kiri mamah mulau ringkih termakan usia. Selalu saja setiap ada kenalan mamah lewat, mamah akan melambaikan tangan dengan senyum khas, dalam hatiku berkata “Ya Allah, masih ada orang seramah dan baik hati seperti mamah. Seandainya semua orang mesir baik hati seperti ini”.

    Berkali – kali ku tawarkan air minum ke mamah, tapi ia tidak mau menerima. Justru mamah menawariku air yang mineral yang sudah lusuh berdebu.

    Mamah dari tiga anak ini bekerja dari pukul delapan pagi sampai selesai isya’, semua dilakukannya dengan penuh semangat dan keikhlasan. Bahkan jika tiba waktu shalat, ia shalat tepat waktu. Penghasilan perhari yang ia raih mungkin hanya sekitar 20-30 L.E. (sekitar 42.000 rupiah) tapi itu tidak melunturkan semangatnya untuk menyekolahkan anaknya. Setiap hari dari bolak balikduwaia(kawasan sayyidah aisyah) ke ‘asyir dengan gagah dan ramah melayani para pembeli, bahkan kalau macet ia harus berangkat dari pagi buta.

    “Misr ummu dunya (mesir intisari alam semesta)” hiburku ke mamah.

    “Mamah suka lagu ummu kultsum?” tanyaku. “iya saya suka” jawab mamah. Ku keluarkan handphone dari saku celana kiriku lalu kuputar salah satu lagu ummu kultsum yang berjudul “aruuh li miin”. Seketika itu mamah melihat lurus ke depan dengan pandangan kosong,  “Almarhum Abu Isma’il juga suka lagu ummu kultsum” kata mamah.

    Setelah selesai satu lagu, aku izin untuk meneruskan perjalanan menuju kontrakan. Sebelum beranjak pergi ku do’akan almarhum dan keluarga mamah agar selalu diberi kesehatan dan keberkahan di dalam hidupnya.

    “Subhanallah” kuagungkan nama-Mu Ya Rabb, banyak hal kecil di sekitarku, namun aku kurang peka dalam menanggapinya. Sesungguhnya seseorang tidak mampu mengubah hati orang lain untuk berbaik sangka kepada dirinya, namun seseorang mampu mendidik hati diri sendiri untuk berbaik sangka kepada diri sendiri.

    Bagi manusia yang berpikiran biasa, mungkin kebahagiaan itu terletak pada masa depan, pada pikirannya tentang teka-teki yang belum terlihat, mereka senang berpikir soal surga dengan ribuan kolam susu.

    Namun, bagi manusia yang tercerahkan, kebahagiaan itu saat ini. Saat ia mampu menyeimbangkan hati, pikiran dan tindakan. Mereka yang tersenyum melihat dunia bekerja dan tidak pernah kecewa karenanya, karena kekecewaan adalah mesin cetak air mata.

    Aku bangga padamu wahai Ummu Ismail. “Robbuna yubaarik fiik”.

    Oleh : Arif Harmi Hidayatullah

    *) Santri angkatan 2011, asal Bima Nusa Tenggara Barat. Sedang menempuh studi di Jami’ah Al-Azhar Kairo Mesir.


    Malam jumat yang mencekam, bulan yang seharusnya ceria kini tampak buram. Aku masih berdiri menempel di dinding yang berada di samping pintu. Orang-orang aneh di ruangan kantor BEM tampak pucat, wajah mereka bopeng dan mulutnya lebar. Gigi-gigi besar dan iler meleleh keluar dari mulut berbau busuk. Bibir mereka tidak bisa untuk sekedar menutup. Semua mata melotot seperti hantu yang ingin mengajak pergi ke dunia gaib, akan menyeret tubuhku untuk melompat ke jurang. Satu diantara mereka bergerak mendekat ke arahku, jantungku dilanda ketakutan besar, tubuhku gemetar melihat tubuhnya menjadi meleleh, matanya yang keropos dan mulutnya yang hancur. Jiwaku terguncang dan memberi isyarat untuk segera berlari kencang, menghindar dari hantu mulut besar, tetapi semakin cepat aku berlari semakin dekat dia mengejar.

    Kini bulan tinggal separuh, malam ini sinarnya buta. Aku tunggang-langgang melewati gang-gang sempit. Melarikan diri dari kejaran hantu menuju puncak gedung kampus. Melompati satu persatu anak tangga dengan sekarat. Saat ini aku mendapati teror amat besar. Terbayang sebuah kematian akan segera datang dan sadar bahwa pelarian ini adalah sia-sia. Tidak sejengkalpun hantu dower itu menjauh dariku meski aku berlari kencang dan dia hanya melangkah pelan.

    Aku berteriak meminta tolong tetapi tidak ada yang mampu menolong. Malam begitu sepi. Semua orang telah tidur di kamar tidur mereka. Hanya berlari dan berlari yang bisa kulakukan. Sehingga kudapati diriku telah sampai di puncak gedung dan kurasakan ajal akan segera tiba. Tidak ada tempat untuk berlari lagi kecuali melompat dari ketinggian 35 Meter. Dalam ketinggian ini aku tahu jika melompat tidak mungkin bisa hidup. Tubuhku akan hancur, tulang-tulangku remuk dan kepalaku menggelinding entah kemana. Namun ketakutan membuatku tidak berpikir kesana. Aku segera mengambil ancang-ancang untuk melompat sambil berteriak minta tolong akan tetapi sia-sia. Aku benar-benar melompat dari puncak gedung kampus. Menantang kematian.

    Kutemukan diriku di balik semak-semak bersembunyi dari kejaran hantu mulut besar. Dia masih berada di sisi lain tetapi saat aku mencoba mengintip, tiba-tiba dia sudah berdiri di depanku. Kepalanya berubah menjadi kadal dan tubuhnya membengkak. Aku berteriak sekarat dan berlari sesisa mampuku. Aku tidak tahu kapan akhir dari pelarian ini.

    Cahaya itu muncul di depan sana. Aku melihat kakek Pocet duduk di kursi goyang. Kemudian muncullah persepsi kalau harapan hidup masih ada. Aku semakin cepat berlari mendekati Kakek Pocet. Menghindar dari hantu kepala kadal. Tapi yang kutemukan lebih menyakitkan lagi. Kursi goyang kakek, berlari menjauhiku. Aku berteriak “Berhenti!, berhenti!,. tolong aku kek, tolong aku kek!” kakek Pocet tidak menoleh sedikitpun. Kursinya semakin cepat menghindariku. Malam membuatku semakin putus asa, gelapnya adalah bau kuburan. Kakek dan kursinya lenyap di balik pohon Bindeng. Kini aku sekarat dan mampus. Harapan untuk hidup telah punah. Disamping nafasku tersengal aku menangis gila. Tidak ada yang bisa menolongku dari kejaran makhluk berkepala kadal kecuali mata telah terbuka.

    Ya! Kini aku selamat. Terperanjat dari tempat tidur dan lolos dari ancaman mimpi buruk yang mengerikan. Tubuhku basah oleh keringat. Mataku masih melotot dan nafasku masih terputus-putus. Jam menunjukkan sekitar pukul dua malam. Aku beranjak dari tempat tidur. Mengambil air dalam kulkas dan meminumnya hingga habis satu botol.

    Ternyata malu tadi siang membuatku terbawa kedalam mimpi buruk. Saat semua orang di kantor BEM mencampakkanku di lingkaran rapat karena menganggap mulutku banyak bacot. Memberi sebutan omong kosong atas nama diriku. Tidak seorangpun menilaiku sebagai manusia normal. Wibawa sebagai seorang yang lahir tanpa cacat hancur terbangkalai bahkan lebih hina dari picek mata, budek telinga atau bisu.

    “Coba saja Suhai diam dan tidak banyak omong, mungkin saja aku akan segan dengannya!” Nuhat beber gosip di toilet kampus, di suatu hari ketika aku lewat.

    “Ah, kau ini. Mana mungkin kebiasaan cerewet yang sudah mendarah daging bisa hilang begitu saja.” Teman di sebelahnya ambil bagian.

    “Kenapa dia tidak mikir ya!?   Kalau kita eneg mendengar banyolan dan sok ngalawak dia yang tidak jelas itu.” Lanjut Nuhat seolah berkuasa atas pribadiku. Semena-mena membicarakan mulutku yang dia anggap bocor.

    Percakapan Nuhat bukan sekali dua kali terdengar dari balik pintu kelas. Dia seolah tidak merasa telah melukai seseorang. Saat cerita tentang mulutku menjadi topik utama, telinga serasa digigit semut merah. Mencabik-cabik perasaanku sebagai teman sekelas dan teman seorganisasi BEM. Menelanjangiku sebagai manusia yang ingin dianggap. Namun apa daya hakku untuk marah kalau yang mereka katakan adalah sebuah kebenaran mutlak. sedang aku secara sejati juga  merasa benci pada mulut bocorku. Ucapan yang keluar darinya adalah musuh yang meruntuhkan kerajaan citra manusiaku. Sebuah konspirasi besar terjadi pada tubuhku.

    Rapat koordinasi tadi siang menjadi berantakan karena mulutku. Kenapa kok tiba-tiba bibirku membahas gosip retaknya hubungan Asri dan Darto yang tidak ada sangkut pautnya dengan pembahsan rapat. Tak juga karena Arsi cantik.

    “Mereka itu putus karena ada orang ketiga. Tidak mungkin hanya gara-gara Asri tidak mandi dua hari Darto rela melepas kecantikan Asri, Eman-emanlah. Ya, saya pikir memang ada orang ketiga. Selain si Asri cantik tentu ada sebab lain. Lagian Asri centil sih! Reno kamu mau gantiin Darto? Peluangnya besar kawan ha ha ha. Baik kita lupakan itu! Acara seminar budaya akan kita laksanakan minggu depan. Tinggal kita urus berkas-berkasnya!” secara spontan kalimat itu meluncur dari mulutku. Semua anak di ruang rapat diam menatapku. Akupun baru sadar hal jelek telah terjadi melalui mulutku. Membicarakan orang di tengah rapat. Hal buruk itupun terjadi. Sebelum kuralat ucapan. Nuhat telah berdiri menyangga kedua tangannya ke meja, garis mukanya tidak bersahabat. Pantas karena nama Asri yang kubicarakan adalah sepupunya.

    “Kamu kalau ngomong jaga ya! saya disini mendengarnya. Perlu Suhai tahu, sepupu saya bukan keganjenan dia anak baik-baik. Kok tiba-tiba kamu ngomong centil, gak mandi dua hari, maksud kamu apa?” Nuhat betul-betul marah, ucapannya membuat semua mata menjatuhkan pandangan ke arahku. Tergegap, ya! Aku pucat pasi. Mendadak semua ruangan berubah menjadi gelap hanya lampu dop bergelantung di atas kepala seperti berada di ruang interogasi.

    “Kami tahu kalau kamu pembohong!”

    “Kami selama ini tahu kamu terlalu bocor untuk seorang ketua BEM. Biar, biar! Saya sudah lama ingin mengatakan ini. supaya dia mikir. Kita-kita ingin lebih serius. Serius Hai!”

    “Ingat! kalau omongan busukmu itu kedengaran Asri kamu mampus!” Nuhat bukan hanya berani mengataiku tapi dia sudah berani mengancamku. Orang yang dalam struktur adalah Ketua.

    “Sekarang jawab! Kenapa kamu ngomongin Asri?” aku tergagap menerima pertanyaan sulit dari Nuhat.

    “Ya… Biar tidak tegang. Biar kita Refresh” ucapan gagap itu keluar dari mulutku saat masih duduk membeku. Ketika sedang terperosok ke dalam wilayah non-manusia. Setara antara ada dan tiada. Lemah mengecilkanku seolah menjadi tumpuan nista. dan semua itu adalah ulah mulut nyinyirku. Dia bergerak sendiri tanpa kendali otak. Memberontak dari bagian tubuhku yang lain. Dia adalah penghianat diatas penghianat.

    “Saya heran! kamu ini adalah Cucu kakek Pocet. Kok bisa punya mulut parah seperti itu?” Nuhat lagi-lagi menamparku dengan ucapan. Dia semakin memperparah keadaan yang sudah parah. Kaki dan tubuhku seperti halnya kursi, ketiganya sama-sama mati.

    Nuhat membanding-bandingkan diriku dengan kakek Pocet. Seorang tua yang pendiam dan disegani semua orang. Dia kakekku yang kemampuan bicaranya hanya sepuluh persen. Kakek yang kucurigai menderita bisu ringan. Mulutnya tidak berbicara kecuali ditanya orang. Tapi orang-orang tidak bosan berbicara dengannya. Sosok yang menurutku agak bisu. Dan berbanding terbalik dengan diriku. Buktinya kalau kakek Pocet di segani orang maka aku disepelekan orang. Bila kakek Pocet berbicara sedikit maka aku bicara banyak. Bila ada orang berbincang dengan kakek maka orang itu yang lebih banyak bertanya dan mencari bahasan sehingga kakek tinggal menjawabnya. Tetapi bila ada orang berbincang denganku maka aku yang harus bekerja keras mencari topik pembicaraan, dan sering-sering bertanya agar nyambung. Itupun sering aku tidak dipedulikan.  Bila orang-orang merasa enak berbicara dengan kakek Pocet maka lain halnya denganku. Tidak ada sedikitpun kharisma dalam diriku.

    Dan akulah bukti bahwa tidak semua buah jatuh di dekat pohonnya. Aku lahir dari kelainan gen yang berimbas pada kelainan nasib. Dan penyebab kelainan itu hanya terletak pada satu titik yaitu mulut.

    ****

    Kamarku masih tampak gelap. Ada seekor kunang-kunang masuk melalui celah jendela mengelilingi seluruh ruangan dan hinggap di dinding. Aku keluar dari kamar. Melangkah menuju kamar Kakek Pocet. Orangnya masih tidur lelap. Kursi goyangnya menghadap keluar jendela. Cahaya bulan menembus genteng kaca membuatku dapat melihat wajah kakek Pocet cukup jelas. Dalam tidurnya terpancar karisma seorang tua. Senyum sosok yang disegani. Senyum manusia yang telah di manusiakan. Mempunyai tempat  di mata setiap orang. Tidak ada perkataan nista keluar dari bibir keriputnya.

    Kukeluarkan kaca cermin yang kubawa dari kamar. Meski malam tampak gelap tapi sedikit sinar bulan membuatku bisa melihat muka dalam keburaman malam. Memandangi wajahku disana dan membandingkannya dengan wajah kakek Pocet. Ternyata mirip! Mata, pipi, telinga, Bentuk mukanya yang oval.  Dan bentuk rahang perseginya, persis!!. Beda karena dia sudah keriput dan aku belum. Tapi kenapa kesamaan ini tidak memberi kesamaan pada nasib. Siapa sebenarnya diriku ini? Kenapa kemanusiaanku begitu berbeda dibanding Kakek Pocet?

    Kenyataan ini membuatku pantas menuntut keadilan Tuhan. Menuntut hak keturunan. Meski tidak diberi kesamaan persis tapi beda sedikit tidak apa. Bahkan seumpama Tuhan membuatku bisu seumur hidup atau mengirim petir menempeleng mulutku yang bocor aku rela. Asal aku bisa menjadi manusia.

    Ada rembasan air di mataku disebabkan lamunan perjalanan kehidupan masa lalu. Aku bukan tidak mencoba menjadi seorang pendiam. Pernah kucoba beberapa kali tapi selalu gagal bahkan pernah sampai dua bulan tidak berbicara dengan orang-orang sehingga aku merasa menjadi penjara. Mulutku terus memberontak keras menjadikan citra yang dibangun dua bulan hancur hanya dalam lima menit bicara.

    Mendengar sergukan ingusku, mata kakek tiba-tiba terbuka. Dia bangun dari tidur. Melihatku yang hampir menangis kemudian kakek menyingkap selimut. Tangan rentanya diletakkan di pundakku.

    “Ada apa Hai?”

    “Aku tidak sanggup lagi Kek. Aku telah kalah Kek!. Semua orang mengataiku pembohong. Tidak ada lagi yang mempercayaiku. Mulutku terlalu nyinyir Kek!”

    “Apa yang kau katakan Hai?”

    “Aku kek. Aku. Orang-orang selalu membandingkan aku dengan kakek. Kenapa mulutku banyak omong sedang kakek tidak. Kenapa orang segan pada kakek sedang padaku jijik. Kenapa orang gampang mengolokku sedang pada kakek tunduk. Kenapa kakek dianggap hebat sedang aku ada atau tidak ada sama saja. Kenapa kakek pendiam sedangkan aku banyak bacot, membicarakan orang-orang. Kenapa aku sendiri tidak sanggup menahannya. kenapa kek. Kenapa?” yang kutanyai masih diam “Atau jangan-jangan aku bukan cucumu?” tangan kakek bergetar. Matanya melotot. Setiba-tiba langsung menampar mukaku. Sangat keras!

    “Apa? Suhai pikir kakek tidak bisa merasakan apa yang Suhai rasakan? Suhai pikir kakek tidak pernah mengalami apa yang terjadi pada Suhai saat ini? Suhai pikir kakek tidak pernah mengalami hal buruk seumur hidup? Suhai pikir kakek sudah hebat sejak lahir? Oh. Jadi Suhai belum tahu kalau Kakek hampir mati gara-gara minum racun serangga? Jadi Suhai belum tahu kalau nyawa kakek hampir melayang gara-gara habis minum racun kemudian gantung diri di dapur? Heh. Suhai salah besar. Kakek masih ingat, kalau seandainya tidak ada Tarmin yang menolong Kakek dan cepat-cepat mengantar ke rumah sakit mungkin sekarang Suhai tidak bisa melihat kakek disini.” Kakek Pocet meninggikan suaranya, matanya menatap genteng kaca. Melihat bulan dengan menghubungkan tragedi bunuh dirinya. Agak lama kekek diam.

    “Dulu. Kakek membuat dua keluarga tetangga di kampung berantakan karena omongan kakek. Membatalkan lamaran keponakan karena calon suaminya kakek anggap tidak cocok. Membuat suasana rapat Kepala Desa hambar karena kakek melawak, dan mengajukan usul tidak serius. Kakek malu Hai! Padahal kakek tidak ingin seperti itu. Kakek benci punya mulut nyinyir, tapi mulut kakek berbicara sendiri, dia seolah tidak bisa dikendalikan sehingga tahu-tahu semua sudah berantakan. Kalau malam datang sering kakek bermimpi mempunyai kehidupan seperti orang biasa. Mempunyai citra kemasyrakatan. Terlepas dari keterplesetan ucapan. Sehingga pada akhirnya oleh sebab mimpi-mimpi itulah kekek menemukan dua pilihan. Pilihan pertama minum racun serangga dan gantung diri di dapur dan kedua terus berusaha diam dan bersabar. Tapi kakek memilih yang pertama karena kakek bodoh.” Kakek menarik napas sebantar wajahnya ditundukkan beberapa saat dan kembali menatapku.

    “Tapi Allah berkehendak lain. Kakek masih diberi kesempatan hidup dan membuat keturunan. Dan sekarang seandainya Kakek disuruh memilih kembali antara dua pilihan tadi maka akan Kakek pilih yang kedua. Sebab berjuang melawan kemunafikan adalah jihad Fi Sabilillah.

    *Zainuddin AK bin Sugendal, adalah cerpenis Pesantren Tebuireng Jombang asal Sampang MaduraDuduk di kelas 4 Madrasah Muallimin Hasyim Asy’ri Tebuireng. Ia bergiat di Majalah Tebuireng dan KOPISARENG (Komunitas Sastra Santri Tebuireng

    Sumber : tebuireng.org

    Mutaakhir ini, umat Islam mudah sekali terprovokasi dengan banyak isu yang tak penting. Karuan saja menjadi santapan ‘lezat’ bagi mereka yang senang melihat umat Islam tercerai berai. Sebagaimana kita saksikan bersama di jagat maya. Menunjukan betapa keroposnya rasa persatuan dan kesatuan sesama umat Islam. Begitupun dengan para elite pejabat negara dan ulama yang makin hari berjalan sendiri-sendiri. Umat Islam dikalangan bawah pun makin kehilangan rasa kedaiman dan kesejukan. Lantas, bagaiamana membangun masa depan Islam yang berkemajuan dan berperdaban di masa depan?

    Hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari, Bapak Umat Islam Indonesia, jauh-jauh hari sudah memberikan nasehat yang baik dan masih relevan untuk di jalankan, yakni; Jagalah persatuan dan kesatuan kita, karena orang lain juga memperkokoh persatuan mereka. Kadang-kadang suatu kebathilan mencapai kemenangan disebabkan mereka bersatu dan terorganisasi. Sebaliknya kadang-kadang yang benar menjadi lemah dan terkalahkan lantaran bercerai-berai dan saling bersengketa.

    Pesan Pendiri NU itu lantas di sebarkan ke sejumlah pemimpin pesantren. Tak butuh lama, pesan tersebut pun tersebar luas. Sebagai tokoh yang memiliki kharisma dan menjadi panutan umat pesan Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari pun mampu menghimpun kekuatan di kalangan masyarakat.

    Demi kemajuan bangsa dan umat Islam Indonesia khususnya di masa depan terus berkarya penting di wujudkan. Kesemua itu tidak akan terwujud jika perselisihan dan perbedaan pendapat yang tak bermutu terus digaungkan. Maka hanya akan menimbulkan kegaduhan semata. Perpecahan secara perlahan-lahan pun terjadi. Padahal menjaga rasa persatuan dan kesatuan amatlah penting. Segala keegoisan, ketamakan, kerakusan, dan lainnya akan terus merongrongnya. Sebagai orang yang mengagungkan beliau sudah selayaknya, nasehat para tokoh kita seperti Kiai Hasyim Asy’ari ini, diikuti dan dijalankan. (Ahmad Faozan, disarikan dari: Buku “Kiyai Haji Hasyim Asy’ari”, karya Heru Soekardi, cet. Department pendidikan Dan kebudayaan pusat penelitian sejarah Dan budaya proyek inventaris Dan dokumentasi 1977/1920; Hal 92-93)

    Resolusi Jihad merupakan seruan atau fatwa yang dikeluarkan Nahdlatul Ulama (NU) pada tanggal 22 Oktober 1945 yang ditulis oleh Pendiri NU sekaligus pendiri Pesantren Tebuireng Hadratusyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari. Resolusi tersebut dikeluarkan atas keresahan kaum santri dan kiai karena Sekutu bersama NICA dan AFNEI ingin menjajah Indonesia kembali pasca kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, dan juga jawaban atas permintaan saran yang diajukan Bung Karno kepada Hadratusyaikh.

    Fatwa itu diputuskan dalam Rapat Besar Konsul-konsul NU se-Jawa dan Madura, pada 21-22 Oktober di Surabaya, Jawa Timur. Melalui konsul-konsul yang datang ke pertemuan tersebut, seruan ini kemudian disebarluakan ke seluruh lapisan pengikut NU khususnya dan umat Islam umumnya di seluruh pelosok Jawa dan Madura.

    Berikut ini adalah teks Resolusi Jihad NU sebagaimana pernah dimuat di harian Kedaulatan Rakyat, Yogyakarta, edisi No. 26 tahun ke-I, Jumat Legi, 26 Oktober 1945:

    Toentoetan Nahdlatoel Oelama kepada

    Pemerintah Repoeblik

    Soepaya mengambil tindakan jang sepadan

    Resoloesi wakil-wakil daerah Nahdlatoel Oelama Seloeroeh Djawa-Madoera

    Bismillahirrochmanir Rochim
    Resoloesi :
    Rapat besar wakil-wakil daerah (Konsoel2) Perhimpoenan Nahdlatoel Oelama seloeroeh Djawa-Madoera pada tanggal 21-22 October 1945 di Soerabaja.
    Mendengar :
    Bahwa di tiap-tiap Daerah di seloeroeh Djawa-Madoera ternjata betapa besarnja hasrat Oemmat Islam dan ‘Alim Oelama di tempatnja masing-masing oentoek mempertahankan dan menegakkan AGAMA, KEDAOELATAN NEGARA REPOEBLIK INDONESIA MERDEKA.
    Menimbang :

         a. Bahwa oentoek mempertahankan dan menegakkan Negara Repoeblik Indonesia menurut hoekoem Agama Islam, termasoek sebagai satoe kewadjiban bagi tiap2 orang Islam.

         b. Bahwa di Indonesia ini warga negaranja adalah sebagian besar terdiri dari Oemmat Islam.

    Mengingat:

        Bahwa oleh fihak Belanda (NICA) dan Djepang jang datang dan berada di sini telah banjak sekali didjalankan kedjahatan dan kekedjaman jang menganggoe ketentraman oemoem.
        Bahwa semoea jang dilakoekan oleh mereka itu dengan maksoed melanggar kedaoelatan Negara Repoeblik Indonesia dan Agama, dan ingin kembali mendjadjah di sini maka beberapa tempat telah terdjadi pertempoeran jang mengorbankan beberapa banjak djiwa manoesia.
        Bahwa pertempoeran2 itu sebagian besar telah dilakoekan oleh Oemmat Islam jang merasa wadjib menoeroet hoekoem Agamanja oentoek mempertahankan Kemerdekaan Negara dan Agamanja.
        Bahwa di dalam menghadapai sekalian kedjadian2 itoe perloe mendapat perintah dan toentoenan jang njata dari Pemerintah Repoeblik Indonesia jang sesoeai dengan kedjadian terseboet.

    Memoetoeskan :

        Memohon dengan sangat kepada Pemerintah Repoeblik Indonesia soepaja menentoekan soeatoe sikap dan tindakan jang njata serta sepadan terhadap oesaha2 jang akan membahajakan Kemerdekaan dan Agama dan Negara Indonesia teroetama terhadap fihak Belanda dan kaki tangannja.
        Seoapaja memerintahkan melandjoetkan perdjoeangan bersifat “sabilillah” oentoek tegaknja Negara Repoeblik Indonesia Merdeka dan Agama Islam.

    Soerabaja, 22 Oktober 1945
    NAHDLATOEL OELAMA

    Sangat besar pengaruh fatwa Resolusi Jihad ini bagi perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Sekejap, dari mulai cabang sampai ranting NU menjadi basis markas Hizbullah dan Sabilillah. Umat Islam tergerak untuk berangkat tak gentar dengan kematian yang setiap saat bisa menimpa mereka. Bahkan mereka merasa bangga mendapatkan predikat syahid sebab membela agama dan tanah air.

    Fatwa ini juga mengilhami adanya peristiwa 10 November 1945. Tidak hanya itu, resolusi ini juga mendorong perjuangan mempertahankan kemerdekaan hingga empat tahun kemudian. Pertempuran demi pertempuran yang terjadi di daerah-daerah sangat mempengaruhi jalur diplomasi yang dilakukan elit pemerintahan Indonesia dengan pihak sekutu. Semisal dikuasainya Krian oleh sekutu, menjadikan perundingan Linggarjati tertunda. Dikuasainya Mojokerto dengan sangat alot, oleh sekutu, juga membuat perundingan Renville tertunda. Walaupun kedua perjanjian tersebut tetap dilakukan walau Krian dan Mojokerto tetap berhasil dikuasai.

    Pesan dan isi Resolusi Jihad ini jelas dan tegas. Namun dalam penafsirannya, terutama melalui penyebarannya secara lisan, kadang-kadang memperoleh tekanan yang lebih keras dan luas. Seperti Fatwa bahwa kewajiban (fardhu ‘ain) bagi setiap muslim yang berada pada jarak radius 94 km untuk turut berjuang. Sedangkan yang berada di luar jarak itu berkewajiban (fardlu kifayah) untuk membantu saudara-saudara mereka yang berada dalam jarak radius tersebut. Kalau yang berada di radius 94 km tak kuasa membendung musuh, maka yang berada di luar radius itu, berubah hukumnya menjadi fardlu ‘ain ikut membantu.

    Resolusi Jihad adalah bukti kontribusi NU, Kiai, dan santri dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Dan dalam perjalannya pasca itu, santri dan kiai banyak memberikan warna tersendiri bagi sejarah perjalanan bangsa ini hingga sekarang. (redaksi Tebuireng Online. Sumber: Resolusi Jihad “Perjuangan Ulama: dari Menegakkan Agama Hingga Negara” karya Abdul Latif Bustami dkk dan Perjuangan Laskar Hizbullah karya Isno El Keyyis)

    sumber : tebuireng.org

    ,


    Ada dua kalam yang pembacaannya dianggap berpahala. Pertama, kalaamulloh Al Quran Al Karim sebagai kalam yang literat. Al Muta’abbadu bitilawatih, siapapun yang membaca Al Qur’an tanpa ngerti maksudnya maka pembacaan itu sudah dihitung ibadah. Dibawah itu (kedua) adalah pembacaan sholawat kepada hadroturrosul Nabiyulloh Muhammad ahollallohu’alaihi wasallam. Tidak perlu mengerti detail maknanya. Tidak perlu mengerti arti secara harfiah dari bahasa Arab sholawat itu. Cukup mengreti  bahwa dia sedang membaca sholawat. Sedang showan kehadirat Rosululloh dengan mengedepankan, menyajikan sholawat dan salam. Maka cukuplah itu dianggap membaca sholawat yang berpahala.




    Saya yakin bahwa tidak semua orang-orang yang membaca sholawat, seperti kawan-kawan ISHARI (Ikatan Hadroh) mengerti artine kabeh, saya gak yakin. Sama dengan orang yang baca diba’ yang bahasanya sulit, berbahasa saatra. Saya yakin, tidak semua ngerti artine. Opo atfatayyaji rotal ‘lamin iku opo? Mungkin anda tidak mengerti tapi anda tahu kalau anda sedang membaca sholawat. Itu cukup sebagai pembacaan yang dihitung berpahala.

    Terkait dengan hari ini sebagai maulidirrosul Nabiyyulloh Muhammad shollallohhu’alayhi wasallam. Ada catatan yang musti direnungkan. Belum pernah Alloh Subhanahu Wata’ala memerintahkan syariat apapun yang didahului dengan keteladanan. Dengan memberikan contoh diriNya sendiri selain perintah membaca sholawat.

    Ketika Alloh memerintahkan manusia agar berzakat, atau sholat, haji dan lain-lain, tidak ada pernyataan bahwa Alloh melakukan itu. Namun, begitu memerintahkan membaca sholawat kepada Nabi maka Alloh mencontohkan diriNya sendiri. Apalagi pernyataan itu dilafalkan dengan bahasa yang sangat serius “innalloha wamalaikatahu  yusholluuna ‘alnnabi”. Sesungguhnya Alloh dan para malaikat aktif lebih dahulu membaca sholawat kepada nabi. Setelah Alloh memberi teladan baru memerintahkan kepada kita “Yaa ayyuhalladziina amanu shollu ‘alaihi”.

    Dari sisi dimensi takbir banyak yang bisa kita ungkap pada ayat ini. Itu artinya kalau kita mau membaca sholawat kepada Hadroturrosul Rosul maka ada etika, ada tata akhlaq dan ada kesopanan. Tata etik ini diperankan sendiri oleh Alloh beserta para malaikat. Alloh sudah membuat contoh, “Ngenelo carane moco sholawat.”

    Siapapun tau bahwa Alloh itu Maha Sempurna. Bisa diterka bagaimana etika Alloh saat membaca sholawat kepada Hadroturrosul? Jawabannya, pasti dengan cara yang sangat sopan dan sangat bagus karena Alloh Maha Indah, Maha Berahlaq.

    Itu artinya awa’e dewe lek moco sholawat yo nyonto ahlake gusti Alloh. Ketika Alloh itu bersholawat kepada nabi, apa penghormatan Alloh kepada Nabi? Tidak pernah Alloh itu memanggil Nabi Muhammad dengan menyebut nama aslinya. Di Al Qur’an iku gak ono”Ya Muhammad!” Pasti dipanggil dengan gelarnya “Ya ayyuhanNabi, ya ayyuharRosul !”.

    Dari segi ini maka penghormatan kepada hadirat beliau itu mutlak barangkali hanya mulut-mulut yang fasik saja, jiwa-jiwa yang tidak bersih saja yang tega menyebut nama Nabi secara njangkat dengan cara mentah-mentah. Lalu diatur kalau memanggil Hadroturrosul maka tidak sama dengan memanggil antar sesama kawan.

    Tolong, bagi orang-orang yang membaca sholawat kepada Rosul dengan iringan musik, terbang, dengan iringan apapun. Tidak ada agama itu melarang musik. Tapi tolong kalau sudah membaca sholawat beriringan musik maka bagi pembaca itu yang wajib dikedepankan adalah nilai khudurnya, nilai hadroh, nilai dihadapan rosululloh. Bukan nilai musiknya.! Sehingga orang kalau rumongso membaca sholawat, seakan-akan ada dihadapan Rosul. Jangan cengengesan!, gak sempat senyum-senyum.

    Apapun group musiknya mengatas namakan kiyai sopoae. Kalau nampak membaca sholawat kok masih lebih dominan musiknya daripada nilai khudurnya, cengengesannya masih ada,  berarti dia hanya tampil dengan bermusik belum bersholawat secara haqiqi seperti yang dicontohkan oleh Alloh subhanahu wata’ala.

    Bisa saya buatkan sebuah analog. Kalau sampean bicara dihadapan kiyai, sedang nelpon kiyai, apakah anda berbicara dengan cengengesan?, apakah anda berbicara dengan senyum-senyum? Jawabannya tentu tidak. Pasti bicara dengan sopan.

    Oleh karena itu para ulama’ menggubah kata-kata dalam sholawat itu ada dua. Pertama, sholawat yang digubah dengan bahasa nasab. Selanjutnya ada sholawat yang digubah dengan bahasa saja’ atau qosidah. Sholawat yang tidak dirancang untuk dilagukan, maka pasti kalau dilagukan itu akan rusak. Begitu pula dengan sholawat yang digubah dengan saja’ pelaguan, memang sudah ada patokannya sendiri.

    Kita ambil contonh sholawat yang digubah dirancang untuk qosidah maka semua akan pas sesuai karena memang dirancang seperti itu. Sholawat “Burdah” dengan lagunya yang bagus huwalkhabibulladzi turja syafa’atuhu panjang pendeknya pasti tepat dan pas. Sedangkan sholawat yang oleh pengarangnya sengaja digubah bukan untuk dilagukan bukan untuk syair. Seperti sholawat “nariyah” allohumma sholli sholatan kaamilatan wa sallim salaman taamman digubah tidak untuk dilagukan. Jadi andaikan ada yang mau melagukan tidak akan cocok. Panjang pendeknya rusak. Untung didalam agama itu masih ada toleransi.

    Untuk itu sesungguhnya dalam mimbar ini memang saya harus menyampaikan secara tegas sekaligus memberi peringatan. Bahwa belum tentu orang yang membaca sholawat dihadapan rosululloh itu mesti dijawab dengan syafa’at. Saya ingatkan sekali lagi, belum tentu orang yang membaca sholawat dihadapan Hadroturrosul itu mesti dijawab dengan sysafa’at. Barangkali karena rosul tersinggung, penyajian sholawat itu tidak etik.

    Belum tentu orang yang menyajikan makanan dihadapan orang tua itu mesti dimakan. Terserah bagaimana caranya dan bahasanya. Kalau dia pakai bahasa yang sopan “mbah ini mbah, monggo dipun dahar mbah!” insya Alloh makanan yang tidak enak pun mbah ngerti “mugo-mugo dibales gusti Alloh” tapi kalau penyajiannya itu membentak “mbah ikilo mbah panganen, pangaen-pangaen!” seenak apapun makanan itu pati si mbah menolak dan tersinggung.

    Dalam momen maulid ini saya sampaikan ayat yang mengerikan tentang orang-orang yang membaca sholawat atau berhubungan dengan Hadroturrosul dengan cara yang tidak baik. Seperti ditera dalam ujung suroh An Nur yang menunjukkan bahwa memanggil, berkonsultasi dengan Rosul itu harus bagus, tidak boleh terjadi tahallul yang liwadzah dan seterusnya.

    Peringatan bagi orang yang membaca sholawat yang kurang etik sajiannya kurang etik dihadapan Rosululloh falyahdzat! hati-hatilah kalian antushibahum fitnah Anda bukan mendapat syafa’at tapi anda malah tertimpa fitnah. Tafsiran Ulama’ tentang fitnah salah satunya adalah sebuah kenegatifan, hambatan berbuat baik, hambatan ketaqwaan pada diri pembaca sholawat itu.

    Kenapa banyak groub-groub musik membaca shoilawat, berjanzi. Tetapi kenapa para pelaku-pelaku itu, musisi-musisi itu tidak bertambah taqwa?padahal membaca sholawatnya sudah dikemas begini-begini. Jawabannya adalah ayat ini “Dia bukan mendapat syafa’at tapi malah mendapat fitnah yang menghambat prestasi taqwanya sendiri. Walaupun dipanggung beraction merem-merem.

    Pait memang khutbah ini tapi kalau kita berfikir ingin sembuh maka perlu sesekali kita itu minum pil/obat. Sepait apapun. Mudah-mudahan kita besok bisa bersama Hadroturrosul Nabiyulloh Muhammad Roaululloh Shollallohu’alaihi wasallam.

    Dikutib dari Khutbah Jum’at KH. A. Musta’in Syafi’i pada tanggal 26 Pebruari 2010 di Masjid Tebuireng.


    إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ؛ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَتُوْبُ إِلَيْهِ، وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَسَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ، وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَا هَادِيَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ؛ صَلَّى اللهُ وَسَلَّمَ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِيْنَ.
    أَمَّا بَعْدُ مَعَاشِرَ المُؤْمِنِيْنَ عِبَادَ اللهِ:
    اِتَّقُوْا اللهَ تَعَالَى وَرَاقِبُوْهُ فِي السِرِّ وَالعَلَانِيَةِ وَالغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ مُرَاقَبَةً مَنْ يَعْلَمُ أَنَّ رَبَّهُ يَسْمَعُهُ وَيَرَاهُ .

    Ibadallah,
    Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menjelaskan di dalam Alquran pada banyak ayat dan juga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam banyak hadits tentang besarnya pahala yang diperoleh dari melaksanakan shalat malam. Telah menjadi kesepakatan para ulama bahwa shalat yang paling afdhal setelah shalat wajib adalah shalat malam.
    Ibadallah,
    Di dalam banyak ayat, Allah Subhanahu wa Ta’ala menganjurkan kepada Nabi-Nya yang mulia untuk melakukan shalat malam. Antara lain adalah:
    وَمِنَ اللَّيْلِ فَتَهَجَّدْ بِهِ
    “Dan pada sebagian malam hari shalat Tahajjud-lah kamu….” (QS. Al-Israa’/17: 79).
    وَاذْكُرِ اسْمَ رَبِّكَ بُكْرَةً وَأَصِيلًا وَمِنَ اللَّيْلِ فَاسْجُدْ لَهُ وَسَبِّحْهُ لَيْلًا طَوِيلًا
    “Dan sebutlah nama Rabb-mu pada (waktu) pagi dan petang. Dan pada sebagian dari malam, maka sujudlah kepada-Nya dan bertasbihlah kepada-Nya pada bagian yang panjang di malam hari.” (QS. Al-Insaan/76: 25-26).
    وَمِنَ اللَّيْلِ فَسَبِّحْهُ وَأَدْبَارَ السُّجُودِ
    “Dan bertasbihlah kamu kepada-Nya di malam hari dan setiap selesai shalat.” (QS. Qaaf/50: 40).
    وَاصْبِرْ لِحُكْمِ رَبِّكَ فَإِنَّكَ بِأَعْيُنِنَا ۖ وَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ حِينَ تَقُومُ وَمِنَ اللَّيْلِ فَسَبِّحْهُ وَإِدْبَارَ النُّجُومِ
    “Dan bersabarlah dalam menunggu ketetapan Rabb-mu, maka sesungguhnya kamu berada dalam penglihatan Kami, dan bertasbihlah dengan memuji Rabb-mu ketika kamu bangun berdiri, dan bertasbihlah kepada-Nya pada beberapa saat di malam hari dan waktu terbenam bintang-bintang (di waktu fajar).” (QS. Ath-Thuur/52: 48-49).
    Kemudian Allah Subhanahu wa Ta’ala bahkan memerintahkan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila telah selesai melakukan shalat wajib agar melakukan shalat malam, hal itu sebagaimana terdapat pada firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
    فَإِذَا فَرَغْتَ فَانْصَبْ وَإِلَىٰ رَبِّكَ فَارْغَبْ
    “Maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain, dan hanya kepada Rabb-mu-lah hendaknya kamu berharap.” (QS. Asy-Syarh/94 : 7-8).
    Allah Subhanahu wa Ta’ala pun memuji para hamba-Nya yang shalih yang senantiasa melakukan shalat malam dan bertahajjud, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
    كَانُوا قَلِيلًا مِنَ اللَّيْلِ مَا يَهْجَعُونَ وَبِالْأَسْحَارِ هُمْ يَسْتَغْفِرُونَ
    “Mereka sedikit sekali tidur di waktu malam; dan di akhir-akhir malam mereka memohon ampun (kepada Allah).” (QS. Adz-Dzaariyaat/51: 17-18).
    Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma mengatakan, “Tak ada satu pun malam yang terlewatkan oleh mereka melainkan mereka melakukan shalat walaupun hanya beberapa raka’at saja.”
    Al-Hasan al-Bashri berkata, “Setiap malam mereka tidak tidur kecuali sangat sedikit sekali.”
    Al-Hasan juga berkata, “Mereka melakukan shalat malam dengan lamanya dan penuh semangat hingga tiba waktu memohon ampunan pada waktu sahur.”
    Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam memuji dan menyanjung mereka:
    تَتَجَافَىٰ جُنُوبُهُمْ عَنِ الْمَضَاجِعِ يَدْعُونَ رَبَّهُمْ خَوْفًا وَطَمَعًا وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ فَلَا تَعْلَمُ نَفْسٌ مَا أُخْفِيَ لَهُمْ مِنْ قُرَّةِ أَعْيُنٍ جَزَاءً بِمَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
    “Lambung mereka jauh dari tempat tidurnya, sedang mereka berdoa kepada Rabb-nya dengan rasa takut dan harap, dan mereka menafkah-kan sebagian dari rezeki yang Kami berikan ke-pada mereka. Seorang pun tidak mengetahui apa yang disembunyikan untuk mereka yaitu (bermacam-macam nikmat) yang menyedapkan pandangan mata, sebagai balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. As-Sajdah/32: 16-17).
    Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan, “Yang dimaksud dengan apa yang mereka lakukan adalah shalat malam dan meninggalkan tidur serta berbaring di atas tempat tidur yang empuk.”
    Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Cobalah renungkan bagaimana Allah membalas shalat malam yang mereka lakukan secara sembunyi dengan balasan yang Dia sembunyikan bagi mereka, yakni yang tidak diketahui oleh semua jiwa. Juga bagaimana Allah membalas rasa gelisah, takut dan gundah gulana mereka di atas tempat tidur saat bangun untuk melakukan shalat malam dengan kesenangan jiwa di dalam surga.”
    Dari Asma binti Yazid radhiyallahu ‘anha, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
    إِذَا جَمَعَ اللهُ اْلأَوَّلِيْنَ وَاْلآخِرِيْنَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، جَاءَ مُنَادٍ فَنَادَى بِصَوْتٍ يَسْمَعُ الْخَلاَئِقُ: سَيَعْلَمُ أَهْلُ الْجَمْعِ اَلْيَوْمَ مَنْ أَوْلَى بِالْكَرَمِ، ثُمَّ يَرْجِعُ فَيُنَادِي: لِيَقُمَ الَّذِيْنَ كاَنَتْ (تَتَجَافَى جُنُوْبُهُمْ) فَيَقُوْمُوْنَ وَهُمْ قَلِيْلٌ.
    “Bila Allah mengumpulkan semua manusia dari yang pertama hingga yang terakhir pada hari Kiamat kelak, maka datang sang penyeru lalu memanggil dengan suara yang terdengar oleh semua makhluk, ‘Hari ini semua yang berkumpul akan tahu siapa yang pantas mendapatkan kemuliaan!’ Kemudian penyeru itu kembali seraya berkata, ‘Hendaknya orang-orang yang ‘lambungnya jauh dari tempat tidur’ bangkit, lalu mereka bangkit, sedang jumlah mereka sedikit.”(HR. Abu Ya’la).
    Di antara ayat-ayat yang memuji orang-orang yang selalu melakukan shalat malam adalah firman Allah:
    أَمَّنْ هُوَ قَانِتٌ آنَاءَ اللَّيْلِ سَاجِدًا وَقَائِمًا يَحْذَرُ الْآخِرَةَ وَيَرْجُو رَحْمَةَ رَبِّهِ
    “(Apakah kamu hai orang musyrik yang lebih beruntung) ataukah orang yang beribadah di waktu malam dengan sujud dan berdiri, sedang ia takut kepada (adzab) akhirat dan mengharapkan rahmat Rabb-nya?…” (QS. Az-Zumar/39: 9).
    لَيْسُوا سَوَاءً ۗ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ أُمَّةٌ قَائِمَةٌ يَتْلُونَ آيَاتِ اللَّهِ آنَاءَ اللَّيْلِ وَهُمْ يَسْجُدُونَ
    “Mereka itu tidak sama, di antara Ahli Kitab itu ada golongan yang berlaku lurus, mereka membaca ayat-ayat Allah pada beberapa waktu di malam hari, sedang mereka juga bersujud (shalat).” (QS. Ali ‘Imraan/3: 113).
    وَالَّذِينَ يَبِيتُونَ لِرَبِّهِمْ سُجَّدًا وَقِيَامًا
    “Dan orang yang melalui malam hari dengan bersujud dan berdiri untuk Rabb mereka.” (QS. Al-Furqaan/25: 64).
    سِيمَاهُمْ فِي وُجُوهِهِمْ مِنْ أَثَرِ السُّجُودِ
    “Tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud….” (QS. Al-Fat-h/48: 29).
    الصَّابِرِينَ وَالصَّادِقِينَ وَالْقَانِتِينَ وَالْمُنْفِقِينَ وَالْمُسْتَغْفِرِينَ بِالْأَسْحَارِ
    “(Yaitu) orang-orang yang sabar, yang benar, yang tetap taat, yang menafkahkan hartanya (di jalan Allah), dan yang memohon ampun di waktu sahur.” (QS. Ali-‘Imran/3: 17).
    Dan lain sebagainya dari ayat-ayat Alquran.
    Barangsiapa yang menginginkan pengetahuan yang bermanfaat dan faidah yang banyak, hendaknya menelaah penafsiran ayat-ayat ini dalam kitab-kitab tafsir, karena pada ayat-ayat terdapat manfaat dan faidah yang amat besar.
    Kaum muslimin, jamaah Jumat rahimakumullah,
    Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam senantiasa menganjurkan kepada para sahabatnya untuk melakukan shalat malam dan membaca Alquran di dalamnya. Hadits-hadits yang mengungkapkan tentang hal ini sangat banyak untuk dapat dihitung. Namun kami hanya akan menyinggung sebagiannya saja, berikut panda-ngan para ulama sekitar masalah ini.
    Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
    أَفْضَلُ الصَّلاَةِ بَعْدَ صَلاَةِ الْمَفْرُوْضَةِ، صَلاَةُ اللَّيْلِ.
    “Shalat yang paling utama setelah shalat wajib adalah shalat yang dilakukan di malam hari.” (HR. Muslim).
    Al-Bukhari rahimahullah berkata: “Bab Keutamaan Shalat Malam.” Selanjutnya ia membawakan hadits dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, bahwa ia berkata: “Seseorang di masa hidup Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallamapabila bermimpi menceritakannya kepada beliau. Maka aku pun berharap dapat bermimpi agar aku ceritakan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Saat aku muda, aku tidur di dalam masjid lalu aku bermimpi seakan dua Malaikat membawaku ke Neraka. Ternyata Neraka itu berupa sumur yang dibangun dari batu dan memiliki dua tanduk. Di dalamnya terdapat orang-orang yang aku kenal. Aku pun berucap, ‘Aku berlindung kepada Allah dari Neraka!’ Ibnu ‘Umar melanjutkan ceritanya, ‘Malaikat yang lain menemuiku seraya berkata, ‘Jangan takut!’ Akhirnya aku ceritakan mimpiku kepada Hafshah dan ia menceritakannya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu beliau bersabda:
    نِعْمَ الرَّجُلُ عَبْدُ اللهِ، لَوْ كَانَ يُصَلِّي مِنَ اللَّيْلِ.
    ‘Sebaik-baik hamba adalah Abdullah seandainya ia melakukan shalat pada sebagian malam.’
    Akhirnya Abdullah tidak pernah tidur di malam hari kecuali hanya beberapa saat saja.” (HR. al-Bukhari dan Muslim).
    Ibnu Hajar berkata: “Yang menjadi dalil dari masalah ini adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: ‘Sebaik-baik hamba adalah ‘Abdullah seandainya ia melakukan shalat pada sebagian malam.’ Kalimat ini mengindikasikan bahwa orang yang melakukan shalat malam adalah orang yang baik.”
    Ibnu Hajar menambahkan, “Hadits ini menunjukkan bahwa shalat malam bisa menjauhkan orang dari adzab.”
    Aisyah radhiyallahu ‘anhuma berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu melakukan shalat malam hingga kedua telapak kakinya pecah-pecah.” (HR. al-Bukhari dan Muslim).
    Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
    يَعْقِدُ الشَّيْطَانُ عَلَى قَافِيَةِ رَأْسِ أَحَدِكُمْ إِذَا هُوَ نَامَ ثَلاَثَ عُقَدٍ يَضْرِبُ كُلَّ عُقْدَةٍ: عَلَيْكَ لَيْلٌ طَوِيْلٌ فَارْقُدْ! فَإِنِ اسْتَيْقَظَ فَذَكَرَ اللهَ اِنْحَلَّتْ عُقْدَةٌ، فَإِنْ تَوَضَّأَ اِنْحَلَّتْ عُقْدَةٌ، فَإِنْ صَلَّى اِنْحَلَّتْ عُقْدَةٌ، فَأَصْبَحَ نَشِيْطًا طَيِّبَ النَّفْسِ، وَإِلاَّ أَصْبَحَ خَبِيْثَ النَّفْسِ كَسْلاَنَ.
    “Setan mengikat di pangkal kepala seseorang darimu saat ia tidur dengan tiga ikatan yang pada masing-masingnya tertulis, ‘Malammu sangat panjang, maka tidurlah!’ Bila ia bangun lalu berdzikir kepada Allah, maka satu ikatan lepas, bila ia berwudhu’ satu ikatan lagi lepas, dan bila ia shalat satu ikatan lagi lepas. Maka di pagi hari ia dalam keadaan semangat dengan jiwa yang baik. Namun jika ia tidak melakukan hal itu, maka di pagi hari jiwanya kotor dan ia menjadi malas.” (HR. al-Bukhari dan Muslim).
    Ibnu Hajar berkata: “Apa yang terungkap dengan jelas dalam hadits ini adalah, bahwa shalat malam memiliki hikmah untuk kebaikan jiwa walaupun hal itu tidak dibayangkan oleh orang yang melakukannya, dan demikian juga sebaliknya. Inilah yang diisyaratkan Allah dalam firman-Nya:
    إِنَّ نَاشِئَةَ اللَّيْلِ هِيَ أَشَدُّ وَطْئًا وَأَقْوَمُ قِيلًا
    “Sesungguhnya bangun di waktu malam adalah lebih tepat (untuk khusyu’) dan bacaan di waktu itu lebih terkesan.” (QS. Al-Muzzammil/73: 6).
    Sebagian ulama menarik kesimpulan dari hadits ini bahwa orang yang melakukan shalat malam lalu ia tidur lagi, maka setan tidak akan kembali untuk mengikat dengan beberapa ikatan seperti semula.”
    Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
    أَفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْـدَ رَمَضَانَ شَهْرُ اللهِ الْمُحَرَّمُ، وَأَفْضَلُ الصَّلاَةِ بَعْدَ الْفَرِيْضَةِ صَلاَةُ اللَّيْلِ.
    “Puasa yang paling utama setelah puasa Ramadhan adalah (berpuasa pada) bulan Allah yang mulia (Muharram) dan shalat yang paling utama setelah shalat wajib adalah shalat malam.”
    Hadits ini menjadi dalil bagi kesepakatan ulama bahwa shalat sunnah di malam hari adalah lebih baik daripada shalat sunnah di siang hari.
    وَمِنَ اللَّيْلِ فَتَهَجَّدْ بِهِ نَافِلَةً لَكَ عَسَىٰ أَنْ يَبْعَثَكَ رَبُّكَ مَقَامًا مَحْمُودًا
    “Dan pada sebagian malam hari bershalat ta-hajjudlah kamu sebagai suatu ibadah tambahan bagimu; mudah-mudahan Rabb-mu mengang-katmu ke tempat yang terpuji.” (QS. Al-Israa’/17: 79).
    Dan juga firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
    تَتَجَافَىٰ جُنُوبُهُمْ عَنِ الْمَضَاجِعِ يَدْعُونَ رَبَّهُمْ خَوْفًا وَطَمَعًا وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ فَلَا تَعْلَمُ نَفْسٌ مَا أُخْفِيَ لَهُمْ مِنْ قُرَّةِ أَعْيُنٍ جَزَاءً بِمَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
    “Lambung mereka jauh dari tempat tidurnya, sedang mereka berdoa kepada Rabb-nya dengan rasa takut dan harap, dan mereka menafkahkan sebagian dari rizki yang Kami berikan kepada mereka. Seorang pun tidak mengetahui apa yang disembunyikan untuk mereka, yaitu (bermacam-macam nikmat) yang menyedapkan pandangan mata…” (QS. As-Sajdah/32: 16-17).
    Dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash radhiyallahu ‘anhuma ia menuturkan, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
    أَحَبُّ الصَّلاَةِ إِلَى اللهِ صَلاَةُ دَاوُدَ، وَأَحَبُّ الصِّيَامِ إِلَى اللهِ صِيَامُ دَاوُدَ: كاَنَ يَنَامُ نِصْفَ اللَّيْلِ وَيَقُوْمُ ثُلُثَهُ وَيَنَامُ سُدُسَهُ، وَيَصُوْمُ يَوْمًا وَيُفْطِرُ يَوْمًا.
    “Shalat yang paling dicintai Allah adalah shalat Nabi Dawud ‘alaihissallam dan puasa yang paling dicintai Allah juga puasa Nabi Dawud ‘alaihissallam. Beliau tidur setengah malam, bangun sepertiga malam dan tidur lagi seperenam malam serta berpuasa sehari dan berbuka sehari.” (HR. al-Bukhari dan Muslim).
    mengatakan Nabi Dawud ‘alaihissallam mengistirahatkan dirinya dengan tidur pada awal malam lalu ia bangun pada waktu di mana Allah menyeru, ‘Adakah orang yang meminta? Niscaya akan Aku berikan permintaannya!’ lalu ia meneruskan lagi tidurnya pada malam yang tersisa sekedar untuk dapat beristirahat dari lelahnya melakukan shalat Tahajjud. Tidur terakhir inilah yang dilakukan pada waktu sahur. Metode seperti ini lebih dicintai Allah karena bersikap sayang terhadap jiwa yang dikhawatirkan akan merasa bosan (jika dibebani dengan beban yang berat) dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda:
    إِنَّ اللهَ لاَ يَمَلُّ حَتَّى تَمَلُّوْا.
    “Sesungguhnya Allah tidak akan pernah merasa bosan sampai kalian sendiri yang akan merasa bosan.
    Allah Subhanahu wa Ta’ala ingin selalu melimpahkan karunia-Nya dan memberikan kebaikan-Nya.”
    Dari Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhu ia berkata, aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda:
    إِنَّ فِي اللَّيْلِ لَسَاعَـةً، لاَ يُوَافِقُهَا رَجُـلٌ مُسْلِمٌ يَسْأَلُ اللهَ خَيْرًا مِنْ أَمْرِ الدُّنْيَا وَاْلآخِرَةِ إِلاَّ أَعْطَاهُ إِيَّاهُ، وَذَلِكَ كُلَّ لَيْلَةٍ.
    “Sesungguhnya di malam hari terdapat waktu tertentu, yang bila seorang muslim memohon kepada Allah dari kebaikan dunia dan akhirat pada waktu itu, maka Allah pasti akan memberikan kepadanya, dan hal tersebut ada di setiap malam.” (HR. Muslim).
    Hadits ini menetapkan adanya waktu dikabulkannya doa pada setiap malam, dan mengandung dorongan untuk selalu berdoa di sepanjang waktu malam, agar mendapatkan waktu itu.”
    Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia menuturkan, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
    رَحِمَ اللهُ رَجُـلاً، قَامَ مِنَ اللَّيْلِ فَصَلَّى، وَأَيْقَظَ اِمْرَأَتَهُ فَصَلَّتْ، فَإِنْ أَبَتْ نَضَحَ فِيْ وَجْهِهَا الْمَاءَ، وَرَحِمَ اللهُ اِمْرَأَةً، قَامَتْ مِنَ اللَّيْلِ فَصَلَّتْ، وَ أَيْقَظَتْ زَوْجَهَا، فَإِنْ أَبَى نَضَحَتْ فِيْ وَجْهِهِ الْمَاءَ.
    “Semoga Allah merahmati seorang suami yang bangun di waktu malam lalu shalat dan ia pun membangunkan isterinya lalu sang istri juga shalat. Bila istri tidak mau bangun ia percikkan air ke wajahnya. Semoga Allah merahmati seorang isteri yang bangun di waktu malam lalu ia shalat dan ia pun membangunkan suaminya. Bila si suami enggan untuk bangun ia pun memercikkan air ke wajahnya.” (HR. Abu Dawud dan selainnya).
    Dari Abu Sa’id al-Khudri radhiyallahu ‘anhu ia menuturkan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
    مَنِ اسْتَيْقَظَ مِنَ اللَّيْلِ وَأَيْقَظَ أَهْلَهُ فَصَلَّيَا رَكْعَتَيْنِ جَمِيْعًا، كُتِبَا مِنَ الذَّاكِرِيْنَ اللهَ كَثِيْرًا وَالذَّاكِرَاتِ.
    “Barangsiapa yang bangun di waktu malam dan ia pun membangunkan istrinya lalu mereka shalat bersama dua rakaat, maka keduanya akan dicatat termasuk kaum laki-laki dan wanita yang banyak berdzikir kepada Allah.” (HR. Abu Dawud dan selainnya).
    Hadits ini seperti dikemukakan oleh ath-Thibi menunjukkan bahwa orang yang mendapatkan kebaikan seyogyanya menginginkan untuk orang lain apa yang ia inginkan untuk dirinya berupa kebaikan, lalu ia pun memberikan kepada yang terdekat terlebih dahulu.
    Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu ia menuturkan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
    إِنَّ اللهَ يُبْغِضُ كُلَّ جَعْظَرِيٍّ جَوَّاظٍ، صَحَّابٍ فِي اْلأَسْوَاقِ، جِيْفَةٍ بِاللَّيْلِ، حِمَارٍ بِالنَّهَارِ، عَالِمٍ بِأَمْرِ الدُّنْيَا جَاهِلٍ بِأَمْرِ اْلآخِرَةِ.
    “Sesungguhnya Allah membenci setiap orang yang perilakunya kasar, sombong, tukang makan dan minum serta suka berteriak di pasar. Ia seperti bangkai di malam hari dan keledai di siang hari. Dia hanya tahu persoalan dunia tapi buta terhadap urusan akhirat.'” (HR. al-Baihaqi).
    Dari Anas radhiyallahu ‘anhu ia menuturkan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
    جَعَلَ اللهُ عَلَيْكُمْ صَلاَةَ قَوْمٍ أَبْرَارٍ يَقُوْمُوْنَ اللَّيْلَ وَيَصُوْمُوْنَ النَّهَارَ، لَيْسُوْا بِأَثَمَةٍ وَلاَ فُجَّارٍ.
    “Allah telah menjadikan pada kalian shalat kaum yang baik; mereka shalat di waktu malam dan berpuasa di waktu siang. Mereka bukanlah para pelaku dosa dan orang-orang yang jahat.” (HR. Abd bin Humaid).
    Dari ‘Abdullah bin Salam radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Yang pertama kali aku dengar dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah sabda beliau:
    يَا أَيُّهَا النَّاسُ أَفْشُوا السَّلاَمَ، وَأَطْعِمُوا الطَّعَامَ، وَصِلُوا اْلأَرْحَـامَ، وَصَلُّوْا بِاللَّيْلِ وَالنَّاسُ نِيَامٌ، تَدْخُلُوا الْجَنَّةَ بِسَلاَمٍ.
    “Wahai manusia, tebarkan salam, berilah makan, sambunglah tali silaturahmi dan shalatlah di malam hari saat manusia tertidur, niscaya kalian akan masuk ke dalam surga dengan selamat.” (HR. at-Tirmidzi).
    Abdullah bin Qais mengatakan, bahwa Aisyah radhiyallahun anhuma berkata: “Janganlah kalian meninggalkan shalat malam karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah meninggalkannya. Jika beliau sakit atau malas, beliau shalat dalam keadaan duduk.” (HR. Ahmda dan Abu Dawud).
    Dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu ia menuturkan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
    فَضْلُ صَلاَةِ اللَّـيْلِ عَلَى صَلاَةِ النَّهَارِ، كَفَضْلِ صَدَقَةِ السِّرِّ عَلَى صَدَقَةِ الْعَلاَنِيَةِ.
    “Keutamaan shalat malam atas shalat siang, seperti keutamaan bersedekah secara sembunyi atas bersedekah secara terang-terangan.” (HR. al-Haitsami dan selainnya).
    Dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu ia menuturkan pula, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
    أَلاَ إِنَّ اللهَ يَضْحَكُ إِلَى رَجُلَيْنِ: رَجُلٌ قَـامَ فِيْ لَيْلَةٍ بَارِدَةٍ مِنْ فِرَاشِهِ وَلِحَافِهِ وَدِثَارِهِ، فَتَوَضَّأَ ثُمَّ قَامَ إِلَى الصَّلاَةِ، فَيَقُوْلُ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ لِمَلاَئِكَتِهِ: مَا حَمَلَ عَـبْدِيْ هَذَا عَلَى مَا صَنَعَ؟ فَيَقُوْلُوْنَ: رَبُّنَا رَجَاءً مَا عِنْدَكَ وَشَفَقَةً مِمَّا عِنْدَكَ، فَيَقُوْلُ: فَإِنِّي قَدْ أَعْطَيْتُهُ مَا رَجَا وَأَمَّنْتُهُ مِمَّا يُخَافُ.
    “Ketahuilah, sesungguhnya Allah tertawa terhadap dua orang laki-laki: Seseorang yang bangun pada malam yang dingin dari ranjang dan selimutnya, lalu ia berwudhu’ dan melakukan shalat. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman kepada para Malaikat-Nya, ‘Apa yang mendorong hamba-Ku melakukan ini?’ Mereka menjawab, ‘Wahai Rabb kami, ia melakukan ini karena mengharap apa yang ada di sisi-Mu dan takut dari apa yang ada di sisi-Mu pula.’ Allah berfirman, ‘Sesungguhnya Aku telah memberikan kepadanya apa yang ia harapkan dan memberikan rasa aman dari apa yang ia takutkan.'” (HR. Ahmad dan selainnya).
    Masih banyak lagi hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menjelaskan tentang keutamaan shalat malam, dorongan terhadapnya dan kedudukan orang-orang yang senantiasa melakukannya.
    بَارَكَ اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِي القُرْآنِ الكَرِيْمِ، وَنَفَعَنِي اللهُ وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ الآيَاتِ وَالذِّكْرِ الحَكِيْمِ، وَأَقُوْلُ هَذَا القَوْلَ وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِيْ وَلَكُمْ وَلِسَائِرِ المُسْلِمِيْنَ مِنْ كُلِّ ذَنْبٍ فَاسْتَغْفِرُوْهُ يَغْفِرْ لَكُمْ إِنَّهُ هُوَ الغَفُوْرُ الرَحِيْمُ.
    Khutbah Kedua:
    اَلْحَمْدُ لِلَّهِ عَظِيْمِ الإِحْسَانِ وَاسِعِ الفَضْلِ وَالْجُوْدِ وَالْاِمْتِنَانِ، وَأَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ ؛ صَلَّى اللهُ وَسَلَّمَ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِيْنَ.
    أَمَّا بَعْدُ عِبَادَ اللهِ اِتَّقُوْا اللهَ تَعَالَى .
    Ibadallah,
    Selain firman Allah Ta’ala dan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ada pula perkataan para sahabat yang turut memotivasi kita untuk melaksanakan shalat malam. Di antaranya:
    Dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Sesungguhnya di dalam Taurat tertulis, ‘Sungguh Allah telah memberikan kepada orang-orang yang lambungnya jauh dari tempat tidur apa yang tidak pernah terlihat oleh mata, tidak pernah terdengar oleh telinga dan tidak pernah terlintas dalam hati manusia, yakni apa yang tidak di-ketahui oleh Malaikat yang dekat kepada Allah dan Nabi yang diutus-Nya.'” (HR. al-Hakim).
    Saat menjelang wafatnya Ibnu ‘Umar, ia berkata, “Tidak ada sesuatu yang sangat aku sedihkan di dunia ini selain rasa dahaga di siang hari dan kelelahan di malam hari.”
    Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata, “Kemulian seseorang terletak pada shalatnya di malam hari dan sikapnya menjauhi apa yang ada pada tangan orang lain.”
    Thalhah bin Mashraf berkata, “Aku mendengar bila seorang laki-laki bangun di waktu malam untuk melakukan shalat malam, Malaikat memanggilnya, ‘Berbahagialah engkau karena engkau telah menempuh jalan para ahli ibadah sebelummu.'” Thalhah mengatakan lagi, “Malam itu pun berwasiat kepada malam setelahnya agar membangunkannya pada waktu di mana ia bangun.” Thalhah mengatakan lagi, “Kebaikan turun dari atas langit ke pembelahan rambutnya dan ada penyeru yang berseru, ‘Seandainya seorang yang bermunajat tahu siapa yang ia seru, maka ia tidak akan berpaling (dari munajatnya).’”
    Dari al-Hasan al-Bashri berkata, “Kami tidak mengetahui amal ibadah yang lebih berat daripada lelahnya melakukan shalat malam dan menafkahkan harta ini.”
    Al-Hasan juga pernah ditanya, “Mengapa orang yang selalu melakukan shalat Tahajjud wajahnya lebih indah?” Ia menjawab, “Sebab mereka menyendiri bersama ar-Rahman (Allah), sehingga Allah memberikan kepadanya cahaya-Nya.” (Diriwayatkan oleh al-Marwazi).
    Syuraik berkata, “Barangsiapa yang banyak shalatnya di malam hari, maka wajahnya akan tampak indah di siang hari.”
    Yazid ar-Riqasyi berkata, “Shalat malam akan menjadi cahaya bagi seorang mukmin pada hari Kiamat kelak dan cahaya itu akan berjalan dari depan dan belakangnya. Sedangkan puasa seorang hamba akan menjauhkannya dari panasnya Neraka Sa’ir.”
    Wahab bin Munabih berkata, “Shalat di waktu malam akan menjadikan orang yang rendah kedudukannya menjadi mulia, dan orang yang hina menjadi berwibawa. Sedangkan puasa di siang hari akan mengekang seseorang dari dorongan syahwatnya. Tidak ada istirahat bagi seorang mukmin tanpa masuk Surga.”
    Al-Awza’i berkata, “Aku mendengar barangsiapa yang lama melakukan shalat malam, maka Allah akan meringankan siksanya pada hari Kiamat kelak.”
    Ishaq bin Suwaid berkata, “Orang-orang Salaf memandang bahwa berekreasi adalah dengan cara puasa di siang hari dan shalat di malam hari.”
    Kita berlindung kepada Allah dari kerugian dan hanya Dia-lah tempat memohon pertolongan.
    وَصَلُّوْا وَسَلِّمُوْا رَعَاكُمُ اللهُ عَلَى مُحَمَّدِ بْنِ عَبْدِ اللهِ كَمَا أَمَرَكُمُ اللهُ بِذَلِكَ فِي كِتَابِهِ فَقَالَ: ﴿ إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيماً ﴾ [الأحزاب:٥٦] ، وَقَالَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: (( مَنْ صَلَّى عَلَيَّ صَلاةً صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ بِهَا عَشْرًا)) .
    اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ، وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَارْضَ اللَّهُمَّ عَنِ الخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ اَلْأَئِمَّةَ المَهْدِيِيْنَ؛ أَبِيْ بَكْرِ الصِّدِّيْقِ، وَعُمَرَ الفَارُوْقِ، وَعُثْمَانَ ذِيْ النُوْرَيْنِ، وَأَبِيْ الحَسَنَيْنِ عَلِيٍّ, وَارْضَ اللَّهُمَّ عَنِ الصَّحَابَةِ أَجْمَعِيْنَ وَعَنِ التَّابِعِيْنَ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنَ، وَعَنَّا مَعَهُمْ بِمَنِّكَ وَكَرَمِكَ وَإِحْسَانِكَ يَا أَكْرَمَ الأَكْرَمِيْنَ.
    اَللَّهُمَّ أَعِزَّ الإِسْلَامَ وَالمُسْلِمِيْنَ، اَللَّهُمَّ أَعِزَّ الإِسْلَامَ وَالمُسْلِمِيْنَ، اَللَّهُمَّ أَعِزَّ الإِسْلَامَ وَالمُسْلِمِيْنَ، اَللَّهُمَّ انْصُرْ مَنْ نَصَرَ دِيْنَكَ وَكِتَابَكَ وَسُنَّةَ نَبِيِّكَ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، اَللَّهُمَّ انْصُرْ إِخْوَانَنَا المُسْلِمِيْنَ المُسْتَضْعَفِيْنَ فِي كُلِّ مَكَانٍ، اَللَّهُمَّ انْصُرْهُمْ فِي أَرْضِ الشَامِ وَفِي كُلِّ مَكَانٍ، اَللَّهُمَّ كُنْ لَنَا وَلَهُمْ حَافِظاً وَمُعِيْنًا وَمُسَدِّداً وَمُؤَيِّدًا، اَللَّهُمَّ كُنْ لَنَا وَلَهُمْ وَلَا تَكُنْ عَلَيْنَا، وَانْصُرْنَا وَلَا تَنْصُرْ عَلَيْنَا، وَامْكُرْ لَنَا وَلَا تُمْكِرْ عَلَيْنَا، وَاهْدِنَا وَيَسِّرْ الهُدَى لَنَا، وَانْصُرْنَا عَلَى مَنْ بَغَى عَلَيْنَا، اَللَّهُمَّ انْصُرْنَا عَلَى مَنْ بَغَى عَلَيْنَا، اَللَّهُمَّ انْصُرْنَا عَلَى مَنْ بَغَى عَلَيْنَا. اَللَّهُمَّ اجْعَلْنَا لَكَ ذَاكِرِيْنَ، لَكَ شَاكِرِيْنَ، إِلَيْكَ أَوَّاهِيْنَ، لَكَ مُخْبِتِيْنَ، لَكَ مُطِيْعِيْنَ. اَللَّهُمَّ تَقَبَّلْ تَوْبَتَنَا، وَاغْسِلْ حَوْبَتَنَا، وَثَبِّتْ حُجَّتَنَا، وَاهْدِ قُلُوْبَنَا، وَسَدِّدْ أَلْسِنَتَنَا، وَاسْلُلْ سَخِيْمَةَ صُدُوْرِنَا.
    اَللَّهُمَّ وَاغْفِرْ لَنَا ذُنُبَنَا كُلَّهُ؛ دِقَّهُ وَجِلَّهُ، أَوَّلَهُ وَآخِرَهُ، سِرَّهُ وَعَلَّنَهُ، اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لَنَا وَلِوَالِدَيْنَا وَلِلْمُسْلِمِيْنَ وَالمُسْلِمَاتِ وَالمُؤْمِنِيْنَ وَالمُؤْمِنَاتِ اَلْأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالْأَمْوَاتِ. اَللَّهُمَّ إِنَّا نَسْأَلُكَ حُبَّكَ، وَحُبَّ مَنْ يُحِبُّكَ، وَحُبَّ العَمَلَ الَّذِيْ يُقَرِّبُنَا إِلَى حُبِّكَ. اَللَّهُمَّ زَيِّنَّا بِزِيْنَةِ الإِيْمَانِ وَاجْعَلْنَا هُدَاةَ مُهْتَدِيْنَ. اَللَّهُمَّ أَصْلِحْ ذَاتَ بَيْنِنَا وَأَلِّفْ بَيْنَ قُلُوْبِنَا، وَاهْدِنَا سُبُلَ السَّلَامِ، وَأَخْرِجْنَا مِنَ الظُلُمَاتِ إِلَى النُّوْرِ. اَللَّهُمَّ آتِ نُفُوْسَنَا تَقْوَاهَا، وَزَكِّهَا أَنْتَ خَيْرَ مَنْ زَكَّاهَا، أَنْتَ وَلِيُّهَا وَمَوْلَاهَا. رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ.
    عِبَادَ اللهِ: أُذْكُرُوْا اللهَ يَذْكُرْكُمْ، وَاشْكُرُوْهُ عَلَى نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ، { وَلَذِكْرُ اللَّهِ أَكْبَرُ وَاللَّهُ يَعْلَمُ مَا تَصْنَعُونَ } .


Top