Surga di Penjual Roti

Nyaris dua tahun sudah aku mengecap ilmu di negeri para nabi, betapa kewibawaan Al-Azhar yang berdiri seribu tahun yang lalu pada Dinasti Fatimiyah masih tetap gagah dengan bangunan yang megah serta ulama yang ikhlas dan sabar tak terhingga dalam menularkan ilmu agama sehingga tersebarlah para penerusnya ke berbagai belahan dunia, maka pantaslah Al- Azhar di sebut sebagai ka’batul ‘ilm (pusatnya ilmu agama).

Hari semakin siang, setelah menghadiri majlis talaqqi di masjid Al-Azhar. Terik matahari yang semakin menyengat mencucurkan keringatku, asap kendaraan bermotor mengerutkan keningku menambah semangatku mempercepat langkahku ke halte busdarrosah(kawasan) perkuliahan mahasiswa.

Hampir tiga puluh menit aku menunggu bis angkutan umum berwarna merah “80/”(delapan puluh coret). Tapi aku putuskan untuk naik tramco untuk menghemat waktu. Setelah tramco penuh, sang sopir pun menjalankan mobil yang membawa kami. Di tengah perjalanan, tepatnya di nadi syurthah masih dekat dengan bu’uts(asrama putra mahasiswa Al-Azhar yang mendapat beasiswa dari Al-Azhar) aku melihat kejadian yang cukup unik dan menggelitik perut, aku pikir ini hanya terjadi disini dan tidak akan pernah aku lihat di Indonesia. Memang di Mesir ini banyak sekali hal-hal unik dan lucu yang belum pernah aku saksikan di negeriku sendiri. Saat itu sang sopir tramco menghentikan mobilnya di tengah jalan. Ia yang ketika itu sedang minum syaai sambil mengemudikan mobilnya, memberikan teh yang sempat ia nikmati kepada rekannya sesama sopir tramco yang juga berhenti tepat di sebelah tramco yang aku naiki. Padahal saat itu di belakang kami dan dibelakang tramco yang dikemudikan oleh kawan sopir tramco tadi terdapat beberapa mobil yang ingin melewati jalan tersebut. Jadilah mereka harus menuggu beberapa saat karena ulah kedua sopir tramco tersebut. Lucu dan menggelikan sekali kejadian tersebut. Masak sempat-sempatnya minum teh berdua di tengah jalan ketika sedang mengendarai mobil. Aku pun hanya bisa tersenyum kecut melihat hal itu. Di satu sisi aku melihat adanya hal positif dari kejadian itu, keinginan untuk saling berbagi dengan sesama. Di sisi lain, aku melihat kurang tepatnya si sopir untuk menempatkan sesuatu yang baik pada tempatnya. Berbagi itu baik dan indah namun kalau berbaginya dengan cara yang seperti itu, tidak bisa dibenarkan secara etika dan logika.

“Ayyuwah ‘ala ganbik ya asytho, niziil gaami’ ”dengan lantang kutirukan lahjah orang mesir memberitahu sopir agar diturunkan  digami’ hay ‘asyir, kawasan yang sebagian besar di huni para mahasiswa Asia khususnya Indonesia.

Sekilas kusapu pandangan ke sekeliling kompleks gami’ kutarik napas dalam-dalam membiarkan penat hilang bersama hembusan nafas. Seketika perutku berdendang, tanpa pikir panjang aku langsung tancap ke syabrowi, restoran khas makanan Mesir. Sambil menenteng tha’miyyah bil bet, dinamit , dan tho’miyyah bil baadzinjaan aku teringat perkataan salah seorang seniorku, “Ibarat bendera Mesir, Merah menunjukkan perjuangan yang takkan pernah habisnya, Putih di nisbatkan kepada Nabi Musa yang perilakunya mulia, Hitam melambangkan kegelapan yang dikiblatkan ke Fir’aun, buruk lagi congkak tak terhingga”.

Adzan Dzuhur sudah berkumandang, kulewati jalan swessry. Langkahku tertahan memandang di luar sudut Masjid Jami’ Ar-Rohman, berjejer penjual qibdah(roti isi hati sapi), di samping kanannya duduk nenek berjubah yang di depannya tersedia dua rak ‘isy(roti dari gandum).

Nenek itu tersenyum ramah melihatku menghampirinya, “sepertinya dia sudah  sering melihatku mondar mandir di jalan swessry” sangkaku. Memang kontrakanku tepat di belakang Masjid Jami’ Ar-Rohman. Rasa penasaranku semakin menjadi, kurogoh plastik bertuliskan syabrowi, “Ittafadholli ya mamah” sapaku sambil menyodorkan tho’miyyah. Mamahpun menerimanya dengan senang hati.

Agak rikuh untuk langsung bertanya, namun kupaksakan demi rasa penasaranku untuk mengobrol dengan mamah. Ada batu agak besar di samping jualan mamah, ku duduk sembari meletakkan ransel di pahaku. Penjual qibdah nongol dari gerobak qibdahnya “enta min siin?” tegurnya sambil memutar tutup tabung gas berwarna biru di sampingku. “La ah, ana anduniisi” sahutku. Masak kulitku yang berwana sawo matang ini dibilang orang Cina. Mamah hanya tersenyum mendengar kami berdua saling menyahut.

Selama ini jika orang Mesir bertanya masalah asal, tak jarang orang Mesir langsung selonong dengan pertanyaan,”apakah kamu berasal dari Cina atau tidak?”. Semua orang Asia dikira orang Cina. Entahlah, mungkin mereka buta warna dan bentuk wajah untuk membedakan antara orang Cina dan Indonesia.

Kumulai obrolanku menggunakan bahasa ‘ammiyyah , “Nama mamah siapa ?” .

“Nama saya? Panggil saja Ummu Isma’il” sahutnya dengan lirih dan senyum khasnya, mungkin sebab gigi mamah banyak yang tanggal. Terlihat guratan perjuangan kehidupan di wajahnya, rambut yang berselang-seling putih dan hitam, menarik diriku ingin tahu lebih dalam.

“Nama asli mamah siapa? Kenapa di panggil Ummu Isma’il” responku lebih dalam. “Apakah harus ya di sebutkan nama asli saya?  Isma’il itu nama anak saya yang pertama sekarang umur enam belas tahun, juga ada dua orang anak perempuan juga di rumah”, jelas si mamah.

Kuberanikan bertanya lebih dalam lagi, “kenapa mamah disini setiap hari menju’al ‘isy disini? Kemana suami mamah?” seketika itu juga mamah memandang lurus kedepan dengan pandangan kosong

“Suami saya juga penjual ‘isy juga”, saat kami ingin melanjutkan obrolan datang pembeli memanggil nama Ummu Isma’il seperti sudah tidak asing lagi dengan nama itu.

“Maaf nak, tadi mamah tinggal sebentar, semenjak enam tahun ditinggal suami, saya meneruskan usaha suami saya. Suami saya dulu terkena penyakit diabetes sehingga kedua kakinya di amputasi di rumah sakit, tapi saya tidak memutuskan semangatnya selalu berjualan ‘isy disini” sambil menunjuk ‘affas(sangkar dari kayu yang ia jadikan tempat duduk). Sontak aku tercenung. Kemudian kusahut dengan do’a “Allahummaghfirlahu Warhamhu Wa ‘aafihi Wa’fu ‘anhu”

“Aamiin Ya Rabb… Aamiin” mamah menjawab dengan penuh khusyu’ dengan mencium perut dan punggung tangan kanannya kemudian menangadahkan tangannya ke atas langit.

‘Isy atau roti yang terbuat dari gandum merupakan makanan pokok orang Mesir, di sebut ‘isy karena kata ‘isy berasal dari kata‘aasya- ya’issyu yang bermakna kehidupan. Begitu juga kata mamah “ni’matul ma’isy bi akli ‘isy”(kenikmatan hidup di rasakan dengan memakan ‘isy). Aku mengangguk mengamini perkataan mama, walaupun dalam hati sebenarnya aku lebih suka nasi di bandingkan‘isy.

Dalam proses pembuatannya, konon sebelum membuat ‘isy, para tukang ‘isy salat dua raka’at terlebih dahulu, dengan harapan ‘isyakan memberikan keberkahan bagi penduduk Mesir.

“Suami saya Abu Isma’il wafat ketika selesai Shalat ‘Asar” dengan bangga dan bercampur haru mamah mencurahkan isi hatinya kepadaku.

“Apakah mamah tidak dapat biaya santunan dari Negara?” tanyaku.

“Demi Allah, bekerja dari keringat sendiri lebih baik dan berkah di bandingkan mendapat santunan, saya melarang diri saya untuk menerimanya” dengan santun mamah mengimbuhkan. Mamah yang berumur lebih dari enam puluh tahun ini tetap baik hati dan ramah melayani pelanggan walaupun kaki kiri mamah mulau ringkih termakan usia. Selalu saja setiap ada kenalan mamah lewat, mamah akan melambaikan tangan dengan senyum khas, dalam hatiku berkata “Ya Allah, masih ada orang seramah dan baik hati seperti mamah. Seandainya semua orang mesir baik hati seperti ini”.

Berkali – kali ku tawarkan air minum ke mamah, tapi ia tidak mau menerima. Justru mamah menawariku air yang mineral yang sudah lusuh berdebu.

Mamah dari tiga anak ini bekerja dari pukul delapan pagi sampai selesai isya’, semua dilakukannya dengan penuh semangat dan keikhlasan. Bahkan jika tiba waktu shalat, ia shalat tepat waktu. Penghasilan perhari yang ia raih mungkin hanya sekitar 20-30 L.E. (sekitar 42.000 rupiah) tapi itu tidak melunturkan semangatnya untuk menyekolahkan anaknya. Setiap hari dari bolak balikduwaia(kawasan sayyidah aisyah) ke ‘asyir dengan gagah dan ramah melayani para pembeli, bahkan kalau macet ia harus berangkat dari pagi buta.

“Misr ummu dunya (mesir intisari alam semesta)” hiburku ke mamah.

“Mamah suka lagu ummu kultsum?” tanyaku. “iya saya suka” jawab mamah. Ku keluarkan handphone dari saku celana kiriku lalu kuputar salah satu lagu ummu kultsum yang berjudul “aruuh li miin”. Seketika itu mamah melihat lurus ke depan dengan pandangan kosong,  “Almarhum Abu Isma’il juga suka lagu ummu kultsum” kata mamah.

Setelah selesai satu lagu, aku izin untuk meneruskan perjalanan menuju kontrakan. Sebelum beranjak pergi ku do’akan almarhum dan keluarga mamah agar selalu diberi kesehatan dan keberkahan di dalam hidupnya.

“Subhanallah” kuagungkan nama-Mu Ya Rabb, banyak hal kecil di sekitarku, namun aku kurang peka dalam menanggapinya. Sesungguhnya seseorang tidak mampu mengubah hati orang lain untuk berbaik sangka kepada dirinya, namun seseorang mampu mendidik hati diri sendiri untuk berbaik sangka kepada diri sendiri.

Bagi manusia yang berpikiran biasa, mungkin kebahagiaan itu terletak pada masa depan, pada pikirannya tentang teka-teki yang belum terlihat, mereka senang berpikir soal surga dengan ribuan kolam susu.

Namun, bagi manusia yang tercerahkan, kebahagiaan itu saat ini. Saat ia mampu menyeimbangkan hati, pikiran dan tindakan. Mereka yang tersenyum melihat dunia bekerja dan tidak pernah kecewa karenanya, karena kekecewaan adalah mesin cetak air mata.

Aku bangga padamu wahai Ummu Ismail. “Robbuna yubaarik fiik”.

Oleh : Arif Harmi Hidayatullah

*) Santri angkatan 2011, asal Bima Nusa Tenggara Barat. Sedang menempuh studi di Jami’ah Al-Azhar Kairo Mesir.



Tidak ada komentar:

Write a Comment


Top