Habiby87. Diberdayakan oleh Blogger.
Blog Archive
- 
        ► 
      
2017
(45)
- ► 9 Juli - 16 Juli (23)
 
- ► 2 Juli - 9 Juli (15)
 
- ► 25 Juni - 2 Juli (7)
 
 
- 
        ▼ 
      
2016
(11)
- ► 29 Mei - 5 Juni (3)
 
 
- 
        ► 
      
2015
(209)
- ► 26 Juli - 2 Agustus (1)
 
- ► 12 Juli - 19 Juli (27)
 
- ► 5 Juli - 12 Juli (10)
 
- ► 7 Juni - 14 Juni (1)
 
- ► 24 Mei - 31 Mei (11)
 
- ► 17 Mei - 24 Mei (20)
 
- ► 10 Mei - 17 Mei (14)
 
- ► 3 Mei - 10 Mei (5)
 
- ► 19 April - 26 April (37)
 
- ► 12 April - 19 April (34)
 
 
Cari Blog Ini
Label
- 
PERLENGKAPAN SANTRI BARU A. Pondok Putra NO JENIS BARANG JUMLAH KETERANGAN 1. PERLENGKAPAN PRIBADI a. Tas Sekolah b. ...
 - 
PROFIL SMA TRENSAINS TEBUIRENG PROFIL SMA TRENSAINS TEBUIRENG (PESANTREN SAINS) Oleh: Ust. Abdul Ghofur A. Profil SMA Trensains (...
 
Mengenai Saya
	Tebuireng »
	
Sastra
 »  
				 Tanpa Tanda Jasa
Tanpa Tanda Jasa
  Posted by Muhammad Habib on Senin, 18 Januari 2016 | 
Sastra
Kehidupan abah tergolong sederhana, Di  era dimana semua guru seangkatannya telah diangkat menjadi pegawai  negeri dan mendapat tunjangan dana pensiunan. Beliau tetap menjadi guru  honorer yang bahkan untuk menghidupi kehidupannya sehari-hari beliau tak  mampu. Belakangan ini beliau melawan penyakit yang dideritanya. Tubuh  tegapnya sedikit demi sedikit diusik oleh penyakitnya. Namun pribadinya  yang kuat tak pernah terkalahkan.
Aku menatap wajahnya yang sendu, siang  malam hanya do’a yang bisa ku lantunkan, meminta belas kasih Tuhan dan  keajaiban yang datang menghampiri sang guru sejati, setidaknya bagiku,  dan bagi orang-orang terdekatnya. Dalam kesunyian malam aku terbuai pada  kharismanya yang membawaku mengarungi alam bawah sadar untuk merekamnya  kembali dalam ingatan.
Matahari menyapa pagi, kutemui sosok  pahlawanku sudah siap dengan pakaian dinas kebanggaannya. Ia tersenyum  menyapaku dan ibu yang telah duduk manis di meja makan. Tempat inilah  menjadi saksi bisu, bahwa sosok didepanku selalu mengajariku makna  penting dari komunikasi, disinilah keluargaku selalu bercerita semua  aktivitasnya seharian.
“Abah, Cici ikut berangkat bareng abah ya,” gumamku.
“Kalo kau berangkat sama abah, bagaimana  dengan teman-temanmu, berjalanlah bersama, gandenglah tangan  teman-temanmu ci,” nasehatnya lembut. Aku termangu dengan ucapannya.  Lantas ia bangkit dan menyalamiku.
Dari kejauhan aku melihat punggungnya  yang makin lama menghilang dari pandanganku bersama biola dan onthel  kesayangannya. Dia telah menghilang dari pelataran rumah sebelum  matahari tersenyum sempurna.
Aku dan abah berada di sekolah yang  sama, aku sebagai murid dan abah seorang tenaga pengajar. sekolah kami  termasuk elit pada akhir abad ke 19-an, yang dikelola langsung oleh  pemerintah daerah setempat. Abah termasuk guru tetua di sekolah ini, Ia  mulai mengajar sejak genap berkepala dua. Hampir semua penduduk desa  mengenal abah sebagai sosok guru yang menyenangkan. Selain pintar  membawa suasana abah selalu menganalogikan pelajarannya dengan alunan  nada dari biola.
Namun aku tak pernah diajar olehnya,  abah selalu menghindari kelasku. Ia memberi alasan kepadaku agar tetap  profesional dan terhindar dari pandangan subjektif dari yang lain. Aku  selalu mencuri dengar abah mengajar, namun abah menegurku agar kembali  ke kelas, dan sesampainya di rumah aku dinasihatinya agar tidak  mengulangi lagi. Abah selalu mengingatkanku, “Jika mengabaikan kalimat  guru walau hanya satu detik bagaikan kehilangan mata rantai gelang  emas.”
Sepulang sekolah kutemui umi sedang  memangkas daun-daun yang rusak dimakan ulat. Rumah keluargaku tidak  besar namun terlihat asri, dipenuhi dengan bunga-bunga melati yang  tumbuh subur. Di salah satu sudut ruangan terdapat sebuah piano tua yang  selalu dimainkan abah sepulangnya dari sekolah. Piano tersebut ia  dapatkan setelah memenangkan sayembara cipta lagu.
Kegemarannya bermusik terus ia tekuni,  aku selalu berlari ke arahnya dan duduk disampingnya ketika tuts piano  mulai dimainkan oleh jari jemarinya yang gemulai, terkadang tanpa sadar  aku hanyut dan ikut bernyanyi dengan alunannya.
“Hidup itu seperti alunan musik, yang  harus kita dengar, rasakan, dan kita nikmati,” ungkapnya disela-sela  permainan.  Aku pun hanya mengangguk dan melemparkan senyum manisku  padanya.
****
Aku tersentak dan terbangun dari  lamunanku, seketika aku melihat layar monitor elektrodiograf yang tidak  stabil, dengan semua rasa panik aku berlari mencari dokter. Tim medis  memasuki ruangan ICU, mereka melarangku untuk memasuki ruangan, dengan  berat hati aku dan suamiku menunggu di luar ruangan sambil berdo’a dan  terus memohon.
Logikaku tak utuh, rasa khawatir dan  takut menyusup ke sanubariku. Aku merasa duniaku akan berhenti, isak  tangis menyesakan jiwa, beruntung suamiku setia menemaniku dan  menenangkanku.
“Jangan khawatir, abah baik-baik saja,” ucapnya menenangkan.
Tim medis satu persatu keluar dari  ruangan, segera mungkin aku menemuinya, dengan tenang aku bertanya pada  dokter dengan memaksa, “Bagaimana dokter, bagaimana keadaan abah saya?”  Namun sang dokter hanya menggelengkan kepala dan bergumam lirih. “Maaf  Tuhan telah berkehendak lain, yang sabar bu,” ucapnya sambil berbela  sungkawa.
Seketika aku berlari memasuki ruangan,  segera aku peluk abah yang kini telah terbujur kaku, ruangan itu kini  pecah dengan suara isakan tangisku. Suamiku segera menyadarkanku, aku  lihat wajah abah, ia memberikan senyuman terakhirnya padaku. Aku bangga  menjadi bagian dari sejarahnya.
Beliau adalah sosok yang selalu  mengajarkan makna keikhlasan dan pengabdian sejati. Bahwa mengabdi  adalah memberi tanpa mengharap jasa. Dan perjalanan hidup abah  menyiratkan makna kehidupan.
Jasad abah kini siap dikebumikan, aku  dan keluarga tak pernah menyangka banyak pelayat yang datang  berbondong-bondong mengucapkan bela sungkawa. Satu lagi kejutan yang  datang menjadi bagian dari hadiah untuk abah. Semua murid abah datang  dari semua penjuru kota. Mereka berjajar rapi sambil memainkan biola,  dawai-dawai itu menyatu, menghasilkan aliran irama merdu nan syahdu.
“Terpujilah wahai engkau ibu bapak guru
Namamu akan selalu hidup dalam sanubariku
Semua baktimu akan kuukir di dalam hatiku
Sebagai prasasti terima kasiku, tuk pengabdianmu
Engkau sebagai pelita dalam kegelapan,
Engkau laksana embun penyejuk dalam kehausan,
Engkau patriot pahlawan bangsa 
Tanpa tanda jasa.”
Lagu yang beliau ciptakan pada sayembara  “Hari Pendidikan Nasional” tahun 1980, “Hymne Guru Pahlawan Tanpa Tanda  Jasa”, telah mewakili perjuangan dan pengabdiannya selama 24 tahun.
*tulisan ini hanya fiktif belaka, namun terinspirasi dari kehidupan Pak Sartono pencipta lagu “Hymne guru” asal Madiun. Penulis adalah Mahasantri Putri Ma’had Aly Hasyim Asy’ari Tebuireng semester 5 dan aktif di Komunitas Penulis Muda Tebuireng, Sanggar Kepoedang.
 
Tidak ada komentar: