Hukum Mufaraqah dari Sholat Jumat

Hukum Mufaraqah dari Sholat Jumat

ilustrasi gambar sedang shalat
ilustrasi gambar sedang shalat
Assalamu’alaikum Wr. Wb
Bolehkah mufaraqah dari shalat Jumat karena bacaan imam tidak fasih atau berbeda madzhab (tidak membaca basmalah dalam surat al Fatihah)? Mohon penjelasanya.
Mizanuddin AS (Yogyakarta)
Wa’alaikum salam Wr. Wb.
Terima kasih kepada penanya. Semoga Allah SWT senantiasa melimpahkan rahmat dan hidayahNya kepada kita semua. Amin. Adapun ulasan jawaban pertanyaan tersebut sebagai berikut:
Tentang niat mufaraqah (memisahkan diri) seorang makmum dari imam, yang kemudian ia (makmum) menyempurnakan shalatnya sendirian baik karena udzur atau tidak hukumnya boleh meskipun makruh kecuali pada rakaat pertama shalat Jum’at menurut pendapat ulama madzhab Syafi’i. Pendapat tersebut dijelaskan dalam kitab Fiqh Islami wa Adilatuhu karya Syaikh Wahbah Zuhaili Allahu yarham juz 2 halaman 372 sebagai berikut:
نية مفارقة الإمام وقطع القدوة
عرفنا سابقاً أنه عند الشافعية: تنقطع القدوة بمجرد خروج الإمام من صلاته، بحدث أو غيره. وقال الشافعية والحنابلة (1) : إن أحرم الشخص مأموماً، ثم نوى مفارقة الإمام وإتمام صلاته منفرداً، جاز عند الشافعية سواء أكان لعذر، أم لغير عذر مع الكراهة، لمفارقته للجماعة المطلوبة وجوباً أو ندباً مؤكداً. وجاز لعذر فقط عند الحنابلة، أما لغير عذر ففيه روايتان: إحداهما: تفسد صلاته وهي الأصح والثانية: تصح. واستثنى الشافعية الجمعة فلا تصح نية المفارقة في الركعة الأولى منها، والصلاة التي يريد إعادتها جماعة، فلا تصح نية المفارقة في شيء منها، وكذا الصلاة المجموعة تقديماً. ومن العذر: تطويل الإمام، أو تركه سنة مقصودة، كتشهد أول وقنوت، فله فراقه ليأتي بتلك السنة، أو المرض، أو خشية غلبة النعاس أو شيء يفسد صلاته، أو خوف فوات ماله أو تلفه، أو فوت رفقته، أو من يخرج من الصف ثم لا يجد من يقف معه
 ودليلهم مافي الصحيحين: «أن معاذاً صلى بأصحابه العشاء، فطوَّل عليهم، فانصرف رجل، فصلى، ثم أتى النبي صلّى الله عليه وسلم ، فأخبره بالقصة، فغضب وأنكر على معاذ، ولم ينكر على الرجل، ولم يأمره بالإعادة» .وأجاز الحنفية (2) فقط مع الكراهة سلام المقتدي قبل الإمام، ولا تجوز المفارقة. وقال المالكية (3) : من اقتدى بإمام لم يجز له مفارقته
Dalam penjelasan redaksi tersebut bahwa ulama madzhab Syafi’i memperbolehkan niat mufaraqah baik adanya udzur atau tidak meskipun makruh, karena ia (makmum) memisahkan diri dari berjama’ah yang merupakan kewajiban dan sunnah mu’akkad. Sedangkan menurut ulama’ madzhab Hanbali diperbolehkan mufaraqah harus terdapat udzur. Apabila tidak terdapat udzur, maka dalam hal tersebut ada dua riwayat, pertama: shalat orang mufaraqah tidak sah, pendapat inilah yang shohih. Kedua, shalatnya sah. Selain itu, ulama madzhab Syafi’i mengecualikan tidak sah niat mufaraqah pada rakaat awal shalat Jum’at, orang yang menginginkan shalat i’adah secara berjama’ah, begitu juga shalat jama’ taqdim. Tak luput juga para ulama madzhab Hanafi berpendapat bahwa boleh seorang makmum melakukan salam sebelum imam meskipun hal itu makruh, akan tetapi mereka tidak memperbolehkan melakukan mufaraqah.
Sedangkan, ulama madzhab Maliki mengatakan, “Barang siapa yang mengikuti (menjadi makmum) imam, maka tidak boleh baginya mufaraqah.” Sebagian contoh dari udzur adalah panjangnya bacaan imam, meninggalkan salah satu sunnah shalat seperti tasyahud awwal dan qunut (maka dirinya boleh mufaraqah dengan mengerjakan sunnah tersebut), sakit, khawatir dirinya diserang rasa ngantuk, terdapat sesuatu yang merusak shalatnya, takut hartanya hilang atau rusak, dan lainnya.
Penjelasan dalil ulama disebutkan dalam ash shahihaini, “Bahwa Muadz bin Jabal melaksanakan shalat Isya’ bersama para sahabatnya dan beliau memanjangkan bacaannya lalu terdapat seorang lelaki yang keluar dari shaff dan mengerjakan shalat. Kemudian Muadz sowan kepada Nabi SAW dan menceritakannya, kemudian Nabi SAW marah dan mengingkari apa yang dilakukan Muadz dan beliau (Nabi) tidak mengingkari apa yang dilakukan lelaki itu serta Nabi SAW tidak memerintahkannya untuk mengulangi shalatnya.
Dalam redaksi lain dijelaskan, ketika seseorang ingin niat mufaraqah maka harus selesai sujud yang kedua (rakaat pertama) kemudian mereka sempurnakan shalat Jum’at sendiri-sendiri.
Pendapat ini tersirat dalam kitab at Taqrirat as Sadiidah halaman 327 sebagai berikut:
وتجب الجماعة في ركعة الأولى إلى الفراغ من السجدة الثانية فلو نووا المفارقة بعدها وأكملوها فرادى إلى نهايتها تصححت الجمعة
Dan wajib berjama’ah pada raka’at pertama sampai selesai sujud yang kedua. Jikalau mereka berniat mufaraqah (harus setalah/selesai sujud kedua pada rakaat pertama), dan sempurnakan shalat Jum’at sendiri-sendiri sampai selesai, maka sah jum’atnya.
Untuk itu hendaknya kita bermakmum kepada yang bacaan imamnya lebih baik dan fasih. Dikarenakan sah shalatnya seseorang dalam shalat berjama’ah dipengaruhi juga oleh kualitas bacaan imam dan kita wajib menentukan siapa imam shalatnya sehingga ibadah jama’ah shalat kita semakin baik. Amiin.. Wallahu ‘alam bisshowab.
Demikian penjelasan yang dapat kami sampaikan. Semoga bermanfaat bagi kita semua.


*) Penulis:ustad Zaenal Karomi, Mahasiswa Ma’had Aly Hasyim Asy’ari kelas Akhir, Pegiat Bahsul Masa’il Pesantren Tebuireng


Tidak ada komentar:

Write a Comment


Top